Di dunia ini, satu hal yang pasti, yakni kematian. Setiap jiwa yang hidup akan merasakan mati. Tak peduli dia raja, ulama, pemimpin, orang kaya, atau rakyat jelata — semua akan kembali ke tanah. Harta, jabatan, kekuasaan, dan gelar akan ditinggalkan. Yang abadi hanya amal, kebaikan, dan jejak manfaat bagi sesama.
Dalam adat dan syariat Aceh, kematian bukan sekadar peristiwa berpulangnya seorang manusia, tapi juga pengingat bagi yang hidup. Setiap prosesi kematian, mulai dari peusijuk jenazah, peumandian, peupuseh, hingga tahlilan, adalah pelajaran sunyi tentang fana-nya dunia dan pentingnya meninggalkan kebaikan. Tapi sayangnya, di tengah zaman modern ini, pesan sakral itu mulai kabur di mata generasi muda Aceh.
Generasi yang Lupa Akar
Saat ini, generasi muda Aceh tengah berada di persimpangan. Di satu sisi, Aceh memiliki warisan adat, agama, dan budaya yang luhur. Di sisi lain, derasnya arus globalisasi dan budaya digital perlahan mengikis nilai-nilai itu. Banyak anak muda yang lebih akrab dengan tren TikTok daripada hikmah kisah syuhada Aceh. Lebih paham selebritas Jakarta ketimbang sejarah pahlawan negeri sendiri.
Kematian para pejuang, ulama, dan orang-orang bijak Aceh seharusnya menjadi pengingat bahwa suatu saat, generasi sekarang pun akan berpulang. Tinggal jejak apa yang akan ditinggalkan? Apakah hanya konten viral tanpa makna, ataukah kebaikan yang terus mengalir manfaatnya untuk Aceh?
Jangan Biarkan Aceh Mati di Hati Anak Muda
Aceh dulu dikenal sebagai Serambi Mekkah, negeri ulama, pusat peradaban Islam di Asia Tenggara. Tapi hari ini, pelan-pelan kebesaran itu mulai meredup. Bukan karena takdir, tapi karena kelalaian kita sendiri. Anak-anak muda mulai apatis, sibuk mengejar tren, dan lupa membangun kampung halaman. Padahal, di pundak generasi mudalah nasib Aceh ke depan ditentukan.
Kematian adalah alarm sunyi bagi setiap orang untuk bertanya: apa yang sudah aku lakukan untuk agamaku, untuk kampungku, untuk negeriku? Jangan sampai kematian tiba saat kita belum sempat berbuat apa-apa, hanya meninggalkan jejak dosa, permusuhan, dan kesia-siaan.
Menjaga Aceh Lewat Kebaikan dan Warisan Nilai
Aceh tidak bisa dijaga dengan retorika belaka. Aceh harus dijaga dengan aksi nyata, mulai dari hal kecil:
- Jaga adat, jangan biarkan adat luhur Aceh hilang di tengah anak-anak muda.
- Jaga syariat, jangan hanya sebatas simbol tanpa praktik nyata dalam kehidupan.
- Jaga masjid dan dayah, agar tetap menjadi pusat ilmu dan moral masyarakat.
- Jaga persaudaraan, jangan terpecah oleh politik, ego kelompok, atau kepentingan sesaat.
- Jaga tanah kelahiran, jangan biarkan hutan dibabat, sungai tercemar, dan adat dihancurkan.
Pesan untuk Generasi Aceh
Wahai anak muda Aceh, ingatlah… kematian pasti datang, dan kita tidak tahu kapan. Sebelum itu terjadi, mari tinggalkan kebaikan. Wariskan ilmu, perbaiki kampung halaman, rawat adat, dan kuatkan persatuan. Jangan biarkan Aceh tinggal nama tanpa makna.
Kalau bukan kita yang menjaga Aceh, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Hidup hanya sekali, gunakan untuk kebaikan.
Aneuk Aceh peugah, peugot tapeugot, tapeuget tapeuget — bek ta gadoh negeri yang indah karena nafsu dan kepentingan.
Semoga kematian orang-orang sebelum kita menjadi pelajaran, agar saat tiba giliran kita nanti, Aceh masih tetap ada, elok, dan bermartabat di tangan anak cucu kita.
Azhari
Pemerhati Sosial Budaya Aceh