Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Wasiat Sultan Aceh untuk Generasi Aceh Masa Depan

Jumat, 23 Mei 2025 | 13:46 WIB Last Updated 2025-05-23T06:46:31Z





Dalam lembaran sejarah Aceh, para sultan bukan hanya pemegang kekuasaan politik, tetapi juga penjaga adat, syariat, dan martabat negeri. Di masa kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam, wasiat-wasiat para sultan selalu menjadi pedoman bagi rakyat dan penerus bangsa. Wasiat itu bukan sekadar pesan lisan, tetapi amanah yang diwariskan lintas generasi, agar Aceh tetap tegak sebagai negeri bermartabat.

Hari ini, di tengah gempuran budaya digital, perpecahan sosial, dan godaan materialisme, kita perlu kembali membuka lembaran wasiat para sultan. Bukan untuk romantisme sejarah belaka, tapi sebagai cermin untuk membenahi langkah Aceh ke depan.

Wasiat Tentang Agama dan Syariat

Sultan Iskandar Muda, penguasa terbesar dalam sejarah Aceh, pernah berpesan:

"Aneuk bisa u gagah, rumah bisa u bagah, adat ngon syara' hanjeut uubah."
(Anak boleh engkau buat hebat, rumah boleh kau bangun megah, tapi adat dan syariat jangan kau ubah.)

Pesan ini menjadi pondasi negeri Aceh. Bahwa sehebat apapun pembangunan fisik, secanggih apapun teknologi, kalau adat dan agama diabaikan — negeri akan rapuh. Sayangnya, hari ini generasi muda Aceh banyak yang mulai abai terhadap wasiat itu. Syariat dijadikan simbol, adat dianggap kuno, dan warisan leluhur disingkirkan atas nama modernitas.

Wasiat Tentang Persatuan

Para sultan Aceh juga mewanti-wanti tentang pentingnya menjaga persatuan. Di masa Kesultanan, Aceh terdiri dari berbagai mukim, suku, dan latar belakang. Tapi semua dipersatukan dalam satu teungku di dayah, satu ulèë balang, dan satu sultan di istana.

Sultan Alaidin Mahmud Syah pernah berpesan:

"Bek ta peusalah tanyo ngon droe-droe. Donya meunyoe hana lama, ta peumeunoh keuh hate."
(Jangan kita saling bermusuhan, dunia ini tidak kekal, mari kita bersihkan hati.)

Hari ini, Aceh justru rawan terpecah hanya karena beda pilihan politik, kelompok, bahkan kepentingan pribadi. Wasiat para sultan itu kini seakan terabaikan. Padahal, kekuatan Aceh dahulu terletak pada persatuan, bukan pada jumlah.

Wasiat Tentang Tanah Aceh

Sultanah Safiatuddin Syah, satu-satunya sultanah perempuan di Aceh, juga meninggalkan pesan:

"Tanah Aceh adalah tanah syuhada. Bek ta jual, bek ta seuneubok, bek ta rusak keu kaphe beungoh."
(Tanah Aceh adalah tanah para syuhada. Jangan dijual, jangan diserahkan, dan jangan dirusak oleh penjajah.)

Kini, tanah Aceh mulai banyak berpindah tangan. Investor dari luar, bisnis skala besar, dan eksploitasi alam dilakukan tanpa kontrol yang ketat. Hutan gundul, sungai tercemar, dan pantai tercemari limbah. Wasiat tentang menjaga tanah warisan para pahlawan itu pun mulai kabur di mata generasi baru.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Generasi muda Aceh saat ini harus sadar, bahwa mereka mewarisi negeri yang pernah jaya. Negeri ini pernah disegani Turki Utsmani, dihormati Persia, dan ditakuti kolonial Belanda. Tapi itu semua bukan karena emas, bukan karena istana megah, melainkan karena agama, adat, dan persatuan.

Maka, mari kita kembali memegang wasiat para sultan:

  • Jaga syariat Islam, jangan hanya jadi simbol di baliho.
  • Lestarikan adat Aceh di setiap gampong.
  • Perkuat persatuan, jangan mau dipecah belah.
  • Rawat tanah dan alam Aceh, jangan gadai demi keuntungan sesaat.
  • Jadikan sejarah sebagai guru, bukan sekadar cerita.

Penutup: Wasiat yang Belum Terlambat

Belum terlambat untuk kembali ke akar. Wasiat para sultan masih relevan. Aceh bisa kembali kuat, jika generasinya mau bersatu, menjaga agama, adat, dan tanah warisan syuhada. Jangan biarkan Aceh hanya dikenang sebagai negeri yang dulu jaya, tapi kini tinggal puing dan kenangan.

Ingatlah, kematian para sultan adalah pengingat. Wasiat mereka adalah amanah. Dan kita, generasi Aceh hari ini, adalah pewaris yang bertanggung jawab untuk menjaga negeri ini tetap bermartabat.

Azhari 
Pemerhati Sejarah dan Budaya Aceh