Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Libatkan Ulama dalam Pembangunan SDM Aceh di Pemerintahan

Selasa, 27 Mei 2025 | 13:09 WIB Last Updated 2025-05-27T10:53:44Z




Aceh adalah tanah ulama, tanah dayah, dan negeri yang sejak dahulu membangun peradabannya di atas fondasi ilmu dan agama. Dalam sejarah panjang Kesultanan Aceh Darussalam, para ulama tidak hanya menjadi penjaga nilai-nilai agama di masjid dan dayah, tetapi juga menjadi penasihat sultan, perancang kebijakan, dan pendamping rakyat dalam berbagai urusan kehidupan.

Namun sayangnya, di era modern ini, posisi ulama dalam pemerintahan seakan terpinggirkan. Hubungan antara birokrasi dan ulama lebih sering bersifat simbolik, hadir saat seremoni, pembukaan acara, atau saat menjelang Pemilu. Padahal, Aceh hari ini menghadapi persoalan pembangunan SDM (Sumber Daya Manusia) yang serius. Tingkat pengangguran terbuka masih tinggi, indeks pembangunan manusia belum optimal, dan krisis moral generasi muda makin meresahkan.

Dalam situasi semacam ini, sudah saatnya Aceh mengembalikan peran ulama ke tempat yang semestinya. Bukan hanya di mimbar-mimbar masjid, tapi juga dalam ruang-ruang strategis pemerintahan. Ulama harus dilibatkan secara aktif dalam penyusunan kebijakan pendidikan, sosial, dan pembangunan SDM Aceh. Bukan hanya sebagai pelengkap, melainkan sebagai mitra strategis pemerintah.

Sejarah Aceh: Ulama sebagai Mitra Kekuasaan

Aceh memiliki tradisi panjang dalam menjadikan ulama sebagai bagian dari sistem pemerintahan. Pada masa Sultan Iskandar Muda (1607–1636), ulama bahkan diberi posisi terhormat sebagai mufti kerajaan dan penasihat utama sultan dalam urusan hukum, pendidikan, hingga diplomasi internasional.

Teungku Syiah Kuala, Teungku Chik di Tiro, hingga ulama-ulama besar seperti Abu Daud Beureueh, bukan hanya ulama dayah, tapi juga tokoh pergerakan sosial dan politik yang ikut menentukan arah perjalanan Aceh. Kolaborasi antara ulama dan pemerintah melahirkan kekuatan sosial yang solid, menyatukan rakyat di bawah naungan syariat Islam dan keadilan sosial.

Tradisi ini seharusnya bisa terus dirawat dan diperkuat di era otonomi khusus ini. Apalagi Aceh memiliki kekhususan dalam bidang agama, adat, dan pendidikan berbasis syariat Islam. Tapi yang terjadi, relasi antara pemerintah dan ulama kerap terjebak dalam formalitas. Sekadar hadir saat pembukaan musabaqah, rapat anggaran, atau kegiatan-kegiatan seremonial.

Pembangunan SDM Aceh Masih Bermasalah

Data BPS Aceh 2024 menunjukkan, tingkat pengangguran terbuka di Aceh masih di angka 6,58%, lebih tinggi dibanding rata-rata nasional. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh tahun 2024 berada di angka 74,80, masih berada di bawah sejumlah provinsi lain di Sumatera. Sementara itu, kasus-kasus sosial seperti narkoba, pergaulan bebas, kekerasan remaja, dan dekadensi moral makin marak.

Di sisi lain, kualitas pendidikan berbasis nilai-nilai Islam juga menghadapi tantangan besar. Banyak generasi muda Aceh yang gagap identitas, tercerabut dari akar budaya, dan lebih mengenal figur-figur selebritas luar ketimbang ulama-ulama Aceh sendiri.

Problem ini tak bisa hanya diatasi dengan program pelatihan kerja, bantuan modal usaha, atau pembangunan infrastruktur semata. Perlu ada pendekatan spiritual, moral, dan budaya yang kuat. Dan di sinilah peran ulama sangat strategis.

Mengapa Ulama Harus Dilibatkan?

Pertama, ulama memiliki otoritas moral dan sosial di tengah masyarakat Aceh. Tradisi dayah yang kuat membuat para ulama dihormati dan didengar nasihatnya oleh rakyat, bahkan lebih dari pejabat pemerintahan. Dalam konteks pembangunan SDM, peran ulama bisa menjadi jembatan untuk menyampaikan program-program pemerintah kepada masyarakat dengan pendekatan kultural dan keagamaan.

Kedua, ulama memiliki kapasitas keilmuan dalam bidang pendidikan, hukum Islam, sosial kemasyarakatan, dan moralitas. Aceh dengan kekhususan syariat Islam-nya, sangat membutuhkan panduan ulama agar kebijakan pembangunan SDM tidak hanya mengejar aspek ekonomi, tapi juga moralitas dan akhlak.

Ketiga, ulama bisa menjadi pengontrol moral bagi birokrasi pemerintahan. Saat ini, banyak kebijakan pembangunan yang terjebak dalam pragmatisme politik, konflik kepentingan, dan aroma korupsi. Ulama bisa berperan menjadi suara kritis yang menjaga marwah pemerintahan tetap berjalan di jalur etis dan syariat.

Bagaimana Melibatkan Ulama Secara Nyata?

Pemerintah Aceh seharusnya tidak cukup hanya membentuk Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) sebagai lembaga formal. Perlu ada integrasi yang lebih substansial. Beberapa gagasan yang bisa dilakukan antara lain:

  1. Membentuk Dewan Pakar SDM Aceh yang melibatkan para ulama karismatik, cendekiawan dayah, dan akademisi keislaman untuk merumuskan grand design pembangunan SDM berbasis nilai-nilai Islam.

  2. Menempatkan perwakilan ulama dalam setiap proses perumusan kebijakan pendidikan, sosial, dan ekonomi di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Bukan hanya dimintai fatwa setelah kebijakan jadi, tapi ikut dari proses perencanaan hingga pengawasan.

  3. Meningkatkan anggaran pendidikan dayah dan pesantren modern, serta memberdayakan lulusan dayah agar memiliki akses terhadap pelatihan, kewirausahaan, dan beasiswa lanjutan ke luar negeri.

  4. Mengaktifkan kembali forum-forum bahtsul masail dayah dalam membahas problem sosial kontemporer, termasuk isu kemiskinan, narkoba, kenakalan remaja, hingga digitalisasi pendidikan. Hasil forum ini bisa dijadikan masukan resmi bagi pemerintah.

  5. Mendorong ulama menjadi bagian dari Tim Pertimbangan Moral dan Syariat di lingkungan SKPA, DPRA, dan kabupaten/kota, sehingga setiap kebijakan strategis bisa diuji secara moral dan syariat sebelum diterapkan.

Penutup: Kembalikan Marwah Ulama di Aceh

Aceh bukan hanya membutuhkan pembangunan jalan, jembatan, dan gedung megah. Aceh membutuhkan pembangunan manusia yang bermartabat, berilmu, dan berakhlak. Dan itu tak mungkin terwujud tanpa kehadiran ulama sebagai bagian integral dari pemerintahan.

Pemerintah Aceh harus kembali merangkul ulama, bukan sekadar simbolik, tapi substantif. Kolaborasi ulama dan umara (pemerintah) harus diperkuat demi mewujudkan Aceh yang sejahtera lahir batin. Karena jika SDM Aceh hanya dikejar dari aspek material tanpa spiritual, maka Aceh hanya akan melahirkan manusia pintar yang miskin akhlak.

Izinkan ulama kembali menuntun Aceh ke jalan yang benar, bukan sekadar memimpin doa di awal acara, tapi memimpin arah pembangunan yang bermoral. Karena sejarah telah membuktikan, di bawah bimbingan ulama, Aceh pernah berjaya. Dan di bawah bimbingan mereka pula, Aceh bisa bangkit kembali.


Azhari , Pegiat Sosial dan Pemerhati Kebijakan Aceh