Oleh: Azhari
Di balik kemegahan sejarah Aceh Darussalam, terdapat sosok ulama besar yang kiprahnya melampaui batas geografi, waktu, dan generasi. Dialah Syeikh Abdur Rauf As-Singkili, atau yang akrab dikenal sebagai Syeikh Kuala, ulama, intelektual, dan wali Allah yang pada abad ke-17 menjadi rujukan keilmuan dunia Melayu dan dunia Islam.
Di tengah perdebatan identitas Aceh hari ini dan gempuran modernisasi yang perlahan mengikis tradisi, jejak perjalanan intelektual Syeikh Kuala sepatutnya menjadi cermin sekaligus pengingat bahwa Aceh pernah menjadi poros keilmuan dunia Islam di kawasan Nusantara.
Perjalanan Menembus Padang Pasir
Lahir di Singkil, Aceh pada 1615 M, Syeikh Kuala tumbuh dalam lingkungan keagamaan yang kuat. Rasa dahaga akan ilmu mendorongnya meninggalkan tanah kelahiran demi menimba pengetahuan di pusat-pusat peradaban Islam di Timur Tengah.
Menurut catatan dalam kitabnya ‘Umdatul Muhtajin, Syeikh Kuala memulai perjalanannya ke Aden, Zabid, Mukha, Tayy, Bait al-Faqih, Maza’ di Yaman. Di setiap kota ini, ia memperdalam berbagai cabang ilmu agama dan dunia. Tidak berhenti di sana, ia terus melintasi padang pasir menuju Doha, Jeddah, Makkah, hingga Madinah.
Di kota suci, beliau berguru kepada 19 ulama besar, di antaranya Syeikh Al-Qusyasyi dan Syeikh Al-Kurani, dua ulama kaliber dunia yang keilmuannya diakui hingga Turki Utsmani dan Kesultanan Mughal.
Multidisipliner: Ulama Nusantara yang Visioner
Apa yang dipelajari oleh Syeikh Kuala membuktikan bahwa ulama Nusantara pada zamannya bukan hanya ahli agama dalam arti sempit. Ia mendalami tasawuf, tafsir, hadis, fikih, tauhid, ushul fiqh, sekaligus ilmu astronomi, farmasi, dan geografi.
Keahlian falak atau astronomi yang dikuasainya menunjukkan betapa ulama Aceh telah menggabungkan ilmu dunia dan akhirat, jauh sebelum banyak perguruan tinggi modern meletakkan konsep integrasi keilmuan.
Tasawufnya yang berpijak pada konsep Martabat Tujuh diterjemahkan secara bijak dalam konteks masyarakat Nusantara, tanpa menyalahi prinsip syariat Islam. Hal ini pula yang kemudian diwariskan kepada murid-muridnya, termasuk Syekh Abdul Muhyi Pamijahan di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Inspirasi bagi Generasi Aceh Kini
Di tengah krisis moral dan lemahnya etika sosial yang melanda generasi Aceh hari ini, spirit perjuangan keilmuan Syeikh Kuala seharusnya menjadi teladan. Aceh membutuhkan jejak baru generasi ulama dan intelektual, yang tidak sekadar mengejar gelar akademik, tetapi juga mampu menempuh perjalanan keilmuan lintas disiplin dan lintas batas.
Sudah saatnya dayah-dayah dan kampus-kampus Islam di Aceh menghidupkan kembali semangat mobilitas intelektual seperti yang dilakukan Syeikh Kuala. Membuka jaringan keilmuan ke Timur Tengah, Turki, Mesir, bahkan Eropa, bukan hanya untuk meraih gelar, tetapi menimba ilmu demi membangun peradaban Aceh ke depan.
Menjaga Warisan Keilmuan
Selain itu, banyak manuskrip dan karya tulis Syeikh Kuala yang hingga kini belum sepenuhnya didokumentasikan dan ditransliterasi. Pemerintah Aceh, ulama, akademisi, serta komunitas literasi perlu bersama-sama mengangkat kembali warisan keilmuan ini, menjadikannya bahan ajar di dayah-dayah dan universitas, sekaligus merawat identitas keilmuan Aceh yang pernah bersinar di masa lalu.
Jejak intelektual Syeikh Kuala adalah aset tak ternilai. Jika generasi muda tidak mengenalnya, Aceh bukan hanya kehilangan sejarah, tetapi juga kehilangan jati diri.
Penutup
Perjalanan panjang Syeikh Abdur Rauf As-Singkili dari Singkil hingga Madinah menjadi bukti bahwa ilmu harus dicari dengan perjuangan dan pengorbanan. Kisah beliau seharusnya tidak hanya diabadikan dalam buku sejarah, tetapi menjadi api semangat baru bagi anak muda Aceh hari ini.
Karena seperti kata pepatah Arab, “Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tak berbuah, dan amal tanpa ilmu ibarat jalan tanpa arah.” Dan Syeikh Kuala telah membuktikan bahwa ilmu dan amal bisa bersanding dalam satu pribadi ulama besar.
#JejakUlamaAceh #SyeikhKuala #WarisanKeilmuan #SantriAcehBangkit