Oleh: Azhari
Aceh adalah negeri dengan dua wajah: satu wajah yang menghadap ke masa lalu, penuh kejayaan dan sejarah agung sebagai kerajaan Islam terbesar di Asia Tenggara, dan satu wajah yang terus mencari bentuk di masa kini, di tengah kemelut politik lokal, disrupsi budaya, dan ketidakpastian ekonomi. Pertanyaannya: Aceh mau ke mana? Apakah kita terus hidup dalam nostalgia sejarah, atau berani menata peradaban baru tanpa meninggalkan akar tradisi?
Belajar dari Masa Lalu, Bergerak untuk Masa Depan
Warisan sejarah Aceh bukan sesuatu yang harus disimpan di museum atau di buku pelajaran semata. Semangat keberanian, kemandirian ekonomi, dan keteguhan moral para pendahulu harus menjadi nilai hidup, bukan sekadar narasi romantis. Sayangnya, Aceh saat ini lebih sibuk memperebutkan warisan politik ketimbang memaknai warisan nilai.
Di sisi lain, dunia terus bergerak. Aceh tak bisa terus memunggungi modernisasi. Era digital, ekonomi kreatif, dan konektivitas global menawarkan peluang besar bagi generasi muda Aceh. Potensi sektor pariwisata halal, bisnis digital Islami, hingga UMKM berbasis budaya lokal bisa menjadi jalan tengah yang strategis. Tinggal bagaimana kita menata ulang prioritas dan kepemimpinan.
Elite Aceh Harus Berhenti Memperalat Rakyat
Sudah saatnya elite politik Aceh berhenti memperalat rakyat dengan isu lama: soal merdeka, soal MoU, soal Jakarta. Rakyat tidak butuh drama politik, yang dibutuhkan adalah pekerjaan, pendidikan, layanan kesehatan, dan jaminan keamanan sosial. Wacana-wacana yang dimainkan elite tak lagi relevan jika rakyat masih harus berobat ke Medan atau jadi TKI karena tak ada lapangan kerja.
Aceh membutuhkan elite baru — bukan dari hasil titipan, bukan hasil kompromi politik, tapi lahir dari kepercayaan publik, integritas moral, dan kepedulian sosial. Generasi muda Aceh, akademisi, aktivis dayah, dan pelaku usaha lokal harus mulai mengambil peran. Kalau tidak, Aceh akan terus jadi pasar bagi kepentingan pusat dan panggung bagi elite lokal yang haus kuasa.
Jalan Tengah: Islam, Adat, dan Modernisasi
Solusi Aceh ke depan adalah jalan tengah: menata modernisasi tanpa tercerabut dari akar budaya. Islam dan adat bukan penghalang kemajuan, justru harus menjadi fondasi moral dalam menghadapi dunia yang serba cepat dan bebas nilai. Aceh butuh dayah digital, butuh UMKM halal berbasis komunitas, butuh pariwisata religi yang dikelola profesional, bukan hanya jargon.
Aceh harus berani menyusun cetak biru pembangunan berbasis potensi lokal: laut, pertanian organik, kerajinan khas, produk herbal, hingga sektor pendidikan Islam modern. Tidak perlu malu belajar dari daerah lain, asalkan identitas budaya tetap dipegang teguh.
Harapan di Tangan Generasi Baru
Generasi muda Aceh saat ini tidak lagi terkungkung dalam konflik bersenjata, tapi berada di medan perjuangan baru: medan kreativitas, pendidikan, dan digitalisasi. Jika pemuda Aceh hanya jadi penonton atau korban arus globalisasi, maka Aceh akan kehilangan kesempatan emas membangun masa depan.
Sudah saatnya pemuda Aceh mengambil posisi: jadi pebisnis, konten kreator Islami, pendakwah digital, akademisi, dan pemimpin sosial. Jangan biarkan panggung ini diisi oleh oknum-oknum lama yang hanya berpindah kostum.
Aceh Butuh Revolusi Mental dan Kepemimpinan
Aceh bukan hanya butuh dana, bukan hanya butuh proyek. Aceh butuh revolusi mental, perubahan cara pandang tentang kekuasaan, tentang nilai, dan tentang masa depan. Elite Aceh harus sadar: kepentingan kelompok tak akan menyelamatkan Aceh, tapi kepedulian sosial dan keberanian moral yang akan memulihkan negeri ini.
Generasi muda Aceh, inilah waktumu. Bangkit, bersatu, bergerak. Aceh bisa, asal kita mau.