Aceh, dengan kekayaan sumber daya alamnya, pernah dicatat sebagai salah satu kawasan paling makmur di Nusantara. Namun, pasca konflik dan reformasi, kesejahteraan rakyat Aceh belum sepenuhnya terwujud. Di tengah tantangan ekonomi, koperasi menjadi salah satu instrumen yang diharapkan mampu menopang perekonomian rakyat. Salah satunya adalah Koperasi Merah Putih, yang belakangan cukup banyak berdiri di berbagai daerah di Aceh.
Namun, di balik jargon pemberdayaan ekonomi rakyat dan syiar kebangsaan, ada pertanyaan penting yang harus kita ajukan: apakah koperasi-koperasi Merah Putih di Aceh benar-benar menjadi solusi kemajuan ekonomi masyarakat, atau justru menjadi kantong-kantong masalah baru yang tak terurus dengan baik?
Cita-Cita Besar di Atas Kertas
Secara konseptual, kehadiran koperasi Merah Putih di Aceh sangatlah ideal. Selain menjadi alat ekonomi kerakyatan, koperasi ini juga diharapkan bisa menjadi wadah persatuan, pendidikan kewirausahaan, hingga pemberdayaan ekonomi berbasis lokal. Sejalan dengan semangat UUD 1945 Pasal 33 yang menempatkan koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional.
Di Aceh, koperasi ini kerap dijadikan program unggulan sejumlah tokoh dan pejabat. Mengusung nama “Merah Putih” seakan menjadi simbol pemersatu antara semangat keacehan dan nasionalisme Indonesia pasca damai Helsinki.
Koperasi-koperasi ini bergerak di berbagai sektor: mulai dari simpan pinjam, perdagangan hasil bumi, peternakan, perikanan, hingga usaha mikro kreatif. Dalam banyak peresmian, koperasi Merah Putih kerap disebut sebagai “motor ekonomi rakyat Aceh”.
Fakta di Lapangan: Permasalahan Klasik yang Berulang
Sayangnya, di lapangan, tidak semua koperasi Merah Putih berjalan mulus. Banyak yang terbentuk hanya di atas kertas untuk memenuhi target program, tanpa keberlanjutan usaha. Sebagian besar terkendala manajemen, minimnya modal kerja, hingga lemahnya SDM pengelola koperasi.
Lebih ironis lagi, beberapa koperasi justru menjadi alat politik praktis. Dibentuk mendekati musim pemilu untuk tujuan pragmatis, setelah itu dibiarkan mangkrak. Dana hibah dan bantuan pemerintah yang seharusnya menjadi stimulus awal, justru kerap tidak tepat sasaran atau dimanfaatkan segelintir orang.
Tak jarang koperasi Merah Putih juga tersandera konflik internal. Perebutan posisi ketua, pengelolaan keuangan yang tidak transparan, hingga lemahnya sistem pengawasan. Kondisi ini membuat kepercayaan masyarakat terhadap koperasi kian menurun. Alih-alih menjadi solusi kemiskinan, koperasi justru masuk daftar penyebab konflik sosial baru di tengah masyarakat.
Kurangnya Transformasi Digital dan Inovasi Bisnis
Di era digital saat ini, koperasi harus beradaptasi dengan sistem keuangan modern, pemasaran online, dan manajemen berbasis data. Sayangnya, banyak koperasi Merah Putih di Aceh yang masih berpikir konvensional. Tak mampu membangun brand, tak memiliki akses pasar digital, bahkan sekadar laporan keuangan pun masih manual tanpa standar akuntansi sederhana.
Tanpa digitalisasi dan inovasi produk, koperasi akan sulit bersaing di tengah pasar yang makin kompetitif. Inilah yang membuat banyak koperasi di Aceh stagnan, bahkan terancam bubar.
Refleksi: Jalan Tengah Menuju Solusi
Koperasi Merah Putih di Aceh sebenarnya masih memiliki peluang besar, jika dibenahi secara serius. Beberapa rekomendasi yang perlu dipertimbangkan:
-
Perbaiki sistem manajemen koperasi: Pemerintah daerah dan dinas terkait harus memastikan koperasi yang aktif benar-benar memiliki pengelola yang kompeten dan profesional.
-
Digitalisasi koperasi: Mulai dari pencatatan keuangan, pemasaran produk, hingga layanan anggota harus berbasis digital agar lebih akuntabel dan transparan.
-
Berdayakan koperasi sesuai potensi lokal: Jangan paksakan koperasi di sektor yang tidak sesuai dengan potensi desa atau kawasan. Fokus pada kekuatan masing-masing wilayah.
-
Hentikan praktik koperasi politik: Koperasi harus bersih dari kepentingan jangka pendek politik praktis. Perlu ada regulasi ketat dan sanksi bagi oknum yang menyalahgunakan koperasi untuk agenda politik.
-
Kembangkan koperasi syariah: Mengingat kultur Aceh yang Islami, koperasi Merah Putih di Aceh bisa dikembangkan berbasis syariah agar lebih sesuai dengan karakter masyarakat.
Penutup: Antara Harapan dan Kenyataan
Koperasi Merah Putih adalah gagasan baik, namun belum sepenuhnya menjadi instrumen efektif dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh. Banyak persoalan manajemen, konflik kepentingan, hingga lemahnya inovasi yang harus dibenahi.
Aceh tidak boleh kehilangan kesempatan kedua. Jika koperasi benar-benar dikelola secara profesional dan bebas dari kepentingan sesaat, ia bisa menjadi tulang punggung ekonomi rakyat. Koperasi yang bukan hanya sekadar nama, tapi benar-benar bergerak, memberdayakan, dan mensejahterakan.
Karena sejatinya, koperasi bukan sekadar soal simpan pinjam, tetapi tentang membangun solidaritas ekonomi di tengah masyarakat. Dan Aceh, dengan warisan budaya kolektifnya, seharusnya menjadi pelopor, bukan sekadar penonton di tengah geliat koperasi nasional.
Semoga saja koperasi merah putih ini berguna dan maju di Aceh kedepannya
Azhari