Oleh: Azhari
Sejarah adalah identitas. Ia bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi cermin jati diri yang menentukan arah dan harga diri sebuah bangsa. Bagi Aceh, sejarah bukan hanya tentang peperangan dan kerajaan besar, tetapi tentang martabat, tentang peradaban yang pernah berdiri megah di ujung barat Nusantara. Sayangnya, kini kita menyaksikan sebuah tragedi diam-diam — penghancuran sejarah bukan lagi dilakukan oleh Belanda atau Jepang, tetapi oleh tangan bangsa sendiri, oleh anak cucu yang seharusnya menjaga warisan leluhurnya.
Dulu Belanda, Kini Anak Bangsa Sendiri
Kita memang pernah marah kepada Belanda. Penjajah itu dengan sengaja meruntuhkan makam-makam Sultan, membakar manuskrip kuno, merusak kompleks dayah, hingga menghapuskan jejak-jejak kejayaan Aceh Darussalam. Kita tahu betul bahwa penjajah selalu berusaha memutus mata rantai sejarah agar bangsa yang dijajah lupa akan kejayaannya, kehilangan identitas, dan akhirnya rela tunduk dalam inferioritas.
Namun yang paling memalukan dan menyakitkan adalah ketika tindakan biadab itu kini dilakukan oleh bangsa sendiri. Atas nama proyek, atas dalih pembangunan, atas alasan modernisasi, makam-makam Sultan, ulama, dan tokoh adat dihancurkan. Batu nisan kuno yang memuat aksara Jawi abad ke-16 hingga 19 hilang satu per satu tanpa jejak, tanpa perlawanan. Bukti-bukti sejarah yang menjadi penanda eksistensi Aceh sebagai bangsa merdeka sebelum Republik lahir, diperlakukan bak sampah tak berharga.
Dan kita diam.
Ironi Kemerdekaan yang Menyakitkan
Aceh berkorban banyak untuk kemerdekaan republik ini. Tapi setelah merdeka, Aceh justru menjadi provinsi yang paling banyak kehilangan warisan sejarahnya. Tidak hanya akibat konflik bersenjata, tapi juga karena kerakusan segelintir elit lokal yang lebih mementingkan proyek instan ketimbang melestarikan identitas bangsanya sendiri.
Lebih parahnya lagi, beberapa elite yang selama ini vokal menuding orang lain sebagai antek penjajah, ternyata justru menerapkan akal penjajah dalam praktik kekuasaan mereka. Bukankah Belanda dahulu menghancurkan makam Sultan Iskandar Muda, menghilangkan jejak Sultanah Safiatuddin, dan membakar kitab-kitab kuno? Kini, atas nama proyek jalan raya, reklamasi, atau taman kota, makam-makam ulama abad ke-16 dan 17 digusur. Kuburan syuhada perang Belanda dikavling. Batu nisan kuno dipindahkan tanpa hormat, bahkan ada yang dipakai untuk penahan pagar atau lantai rumah.
Ini bukan sekadar pengkhianatan, tapi malapetaka budaya.
Sejarah Bukan Dongeng
Hari ini, banyak anak muda Aceh menganggap kisah Sultan Iskandar Muda, Perang Cumbok, Syiah Kuala, hingga Cut Nyak Dhien sebagai mitos, karena tak ada lagi bukti fisiknya. Generasi hari ini tumbuh dalam ketidaktahuan yang disengaja, akibat penghapusan sistematis terhadap warisan sejarahnya.
Lihat saja makam Tun Kamil, seorang ulama penting yang wafat pada tahun 1512. Makam itu nyaris tak dikenal lagi oleh generasi muda Aceh. Padahal, beliau adalah bagian dari jaringan ulama awal yang meletakkan dasar peradaban Islam di Aceh. Dan ini baru satu contoh kecil. Ada ratusan makam sultan, ulama, dan pejuang yang tak terurus, bahkan dihilangkan dari peta sejarah.
Akal PKI dan Belanda di Balik Jubah Bangsa Sendiri
Kita selalu vokal menentang ideologi PKI yang anti agama dan sejarah. Kita galak mencaci Belanda yang menjajah. Tapi lucunya, perilaku penghancuran sejarah dan penghilangan identitas bangsa justru hari ini dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa di Aceh sendiri. Mental penjajah itu kini dibalut dalam jubah nasionalisme palsu dan proyek-proyek mercusuar. Mereka mengulang strategi PKI dan Belanda: memutus generasi dari akar sejarahnya agar mudah dikendalikan.
Mereka paham, selama bangsa Aceh masih sadar siapa dirinya, sejarah kejayaannya, dan martabat indatunya, selama itu pula Aceh akan sulit dikalahkan. Maka, jalan paling cepat untuk mematahkan Aceh adalah dengan menghancurkan bukti-bukti sejarahnya. Jika tak ada bukti, tinggalah cerita. Dan cerita, bisa mereka pelintir sesuka hati.
Waktunya Bangkit Melawan Penghapusan Sejarah
Sudah cukup kita diam. Aceh tak boleh membiarkan anak cucunya tumbuh tanpa tahu siapa Sultan Iskandar Muda, siapa Syiah Kuala, siapa Cut Meutia, siapa Abuya Muda Waly. Kita tak boleh hanya jadi penonton saat batu-batu nisan bertuliskan kalimat tauhid abad ke-16 digali tanpa hormat, dan kitab-kitab kuno dijual kiloan.
Aceh harus bangkit, menyelamatkan sisa-sisa peninggalan sejarahnya sebelum semua hilang. Kita butuh lembaga adat yang benar-benar berfungsi, sejarawan independen yang tak dibungkam, komunitas peduli sejarah yang aktif, dan rakyat yang peduli, bukan hanya saat memperingati hari pahlawan atau maulid.
Karena kalau tidak, niscaya generasi Aceh berikutnya akan menganggap kerajaan Aceh Darussalam itu dongeng, Sultan Iskandar Muda itu mitos, dan ulama-ulama besar itu legenda fiksi. Dan itu semua karena kita membiarkan sejarah Aceh dihancurkan oleh bangsa sendiri, di depan mata kita.
#SelamatkanSejarahAceh #AcehBermartabat