:
Oleh: Azhari
Sejarah Aceh adalah sejarah perlawanan. Dari masa Kesultanan Aceh Darussalam yang gagah perkasa di abad ke-16, hingga pertarungan berdarah menghadapi kolonialisme Belanda selama lebih dari 70 tahun, Aceh selalu dikenal sebagai tanah yang tak mudah ditaklukkan. Bahkan, ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 1945, Aceh menjadi salah satu daerah yang dengan cepat mengibarkan Sang Saka Merah Putih. Tapi sejarah juga mencatat, di sudut bumi rencong ini pernah bergejolak mimpi-mimpi tentang sebuah Aceh yang ingin merdeka, lepas dari Republik Indonesia.
Mimpi itu tak pernah benar-benar padam. Ia seperti bara dalam sekam yang kadang menyala, kadang redup, tapi tak pernah mati. Kini, setelah dua dekade perdamaian MoU Helsinki, Aceh memasuki babak baru: perang dingin antara kenangan masa lalu dan impian masa depan. Perang tanpa senjata, tapi tetap menyisakan luka dan ketegangan yang sunyi.
Jejak Sejarah Mimpi Merdeka
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang didirikan Hasan Tiro pada 1976 bukanlah lahir tanpa sebab. Ia merupakan akumulasi ketidakpuasan, ketidakadilan, dan luka sejarah panjang Aceh dengan Jakarta. Aceh yang dahulu memberi pesawat pertama untuk Republik, tiba-tiba dipinggirkan dalam pembangunan nasional. Kekayaan alam Aceh — gas Arun, hasil bumi, dan sumber daya alam lainnya — mengalir ke pusat, sementara Aceh tetap menjadi daerah miskin di atas tanah kaya.
Di sinilah mimpi tentang Aceh merdeka kembali bergaung. Tapi mimpi itu tidak hanya tentang kemerdekaan politik, melainkan soal harga diri, soal identitas, dan soal hak menentukan nasib sendiri.
MoU Helsinki dan Dilema Pasca Konflik
Perdamaian Helsinki 2005 memang menghentikan kontak senjata. Tapi ia belum sepenuhnya menghapus ketegangan ideologis. Aceh diberikan status daerah istimewa dengan otonomi khusus — termasuk kewenangan menjalankan syariat Islam dan mengelola kekayaan alam. Namun, di balik itu, benih-benih mimpi merdeka masih sesekali berbisik, kadang dalam diskusi kecil, kadang dalam sindiran politik, kadang dalam narasi sejarah yang tidak selesai.
Perang dingin ini muncul dalam bentuk lain: ketidakpuasan terhadap implementasi MoU, minimnya realisasi butir-butir perjanjian, hingga kegagalan elite lokal dalam membawa Aceh keluar dari kemiskinan struktural. Rakyat Aceh masih banyak hidup dalam bayang-bayang masa lalu, sementara generasi muda gamang menghadapi masa depan.
Perang Dingin yang Tak Terlihat
Kini, tidak ada lagi senjata di hutan. Tidak ada lagi patroli militer di jalan-jalan kampung. Tapi ada ketegangan sunyi yang kadang terasa, khususnya saat pembicaraan tentang masa depan Aceh mulai mengarah ke politik identitas. Isu kemerdekaan masih menjadi momok bagi pemerintah pusat, dan kartu politik yang masih dipegang sebagian elite lokal.
Perang dingin ini hadir dalam perdebatan soal otonomi, soal dana otsus yang akan berakhir, soal hak Aceh atas hasil bumi, soal bendera dan lambang Aceh, soal keadilan hukum, soal kesenjangan pembangunan, dan soal siapa yang sebenarnya berkuasa di tanah ini.
Aceh seperti berjalan di dua kutub: di satu sisi ingin membuktikan diri sebagai bagian dari Indonesia dengan keistimewaan dan syariatnya, di sisi lain menyimpan trauma sejarah yang belum sepenuhnya sembuh. Mimpi merdeka itu seperti bayang-bayang, tak kelihatan tapi terasa.
Antara Mimpi dan Realitas
Generasi muda Aceh hari ini menghadapi dilema sejarah. Di satu sisi mereka dibesarkan dalam narasi heroik tentang perlawanan dan harga diri bangsa Aceh. Di sisi lain, mereka harus menerima kenyataan bahwa Aceh adalah bagian dari Republik Indonesia, dengan segala konsekuensi politik dan ekonominya.
Pertanyaannya kini bukan lagi soal ingin merdeka atau tidak. Tapi, mampukah Aceh berdiri di atas kaki sendiri, mengelola kekayaan dan masa depannya tanpa harus berkonflik lagi? Mampukah mimpi tentang kedaulatan itu diwujudkan dalam bentuk kemajuan ekonomi, pendidikan, dan kualitas hidup masyarakat tanpa harus angkat senjata?
Karena yang sesungguhnya dibutuhkan Aceh hari ini bukan bendera baru, bukan negara baru, tapi masa depan baru. Masa depan yang lebih adil, lebih makmur, lebih bermartabat, di mana suara orang Aceh benar-benar didengar dan dihargai.
Penutup
Perang dingin antara Aceh dan mimpi merdeka ini tak akan pernah benar-benar selesai selama luka sejarah dibiarkan membusuk, selama keadilan tak kunjung ditegakkan, dan selama elite Aceh lebih sibuk memperebutkan kekuasaan daripada memikirkan nasib rakyatnya.
Kini, waktunya Aceh mengubah arah. Bukan melupakan masa lalu, tapi menjadikannya pelajaran. Bukan menyerah pada keadaan, tapi memperbaiki diri dari dalam. Karena Aceh tidak akan dihormati oleh dunia luar jika terus hidup dalam bayang-bayang konflik, baik bersenjata maupun ideologi.
Jika benar Aceh adalah “Serambi Mekkah”, maka sudah sepatutnya ia menjadi teladan peradaban, bukan sekadar cerita tentang perang, darah, dan mimpi yang tak kunjung selesai.