Politik sejatinya adalah ruang yang diciptakan untuk memperjuangkan gagasan, ide, dan kepentingan rakyat dalam koridor demokrasi. Dalam negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia, perbedaan pandangan politik adalah hal yang lumrah, bahkan sehat, karena menunjukkan bahwa masyarakat memiliki ruang berpikir dan kebebasan untuk menentukan pilihan. Namun, yang menjadi ironi adalah ketika perbedaan tersebut justru menjadi pemicu permusuhan, saling serang, bahkan adu domba di kalangan masyarakat, utamanya antar tim sukses atau pendukung masing-masing calon.
Fenomena saling serang antar pendukung politik bukan hal baru di negeri ini. Hampir di setiap momentum pemilihan umum, baik di tingkat daerah maupun nasional, media sosial dipenuhi ujaran kebencian, fitnah, provokasi, dan penyebaran hoaks yang memecah belah masyarakat. Padahal, semestinya politik dijadikan sebagai sarana edukasi rakyat tentang pentingnya peran kepemimpinan yang bertanggung jawab, serta menjadi momentum koreksi dan kritik konstruktif untuk perbaikan masa depan bangsa.
Melalui tulisan ini, kita akan mengupas bagaimana perbedaan pandangan politik seharusnya tidak menjadi ajang saling serang, namun menjadi ruang kritikan membangun, diskusi terbuka, dan tanggapan yang sehat demi perubahan sosial dan kesejahteraan rakyat. Karena di atas semua perbedaan, kita tetap saudara sebangsa yang terikat oleh nilai-nilai kemanusiaan, persaudaraan, dan kepentingan bersama.
Politik Adalah Ruang Gagasan, Bukan Medan Permusuhan
Dalam hakikatnya, politik adalah seni mengelola kekuasaan demi kemaslahatan rakyat. Politik bukan alat untuk mencari musuh, melainkan ruang untuk mempertemukan perbedaan pandangan agar melahirkan kebijakan yang berkeadilan. Sayangnya, di negeri ini, politik acap kali dipahami sebagai alat perebutan kekuasaan semata. Perbedaan pilihan politik dianggap sebagai bentuk permusuhan, bukan perbedaan pendapat.
Kita sering menyaksikan bagaimana suasana politik di Indonesia memanas setiap kali pemilu tiba. Antar tim sukses atau simpatisan saling menjatuhkan, menyebarkan kabar bohong, menyerang pribadi kandidat lawan, dan menyulut kebencian. Padahal, demokrasi tidak pernah mengajarkan rakyat untuk saling menghina hanya karena berbeda pandangan. Demokrasi justru mendorong masyarakat untuk aktif dalam diskusi, kritik, dan debat sehat dengan data dan gagasan.
Perseteruan antar pendukung yang kerap terjadi justru menodai nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Politik yang semestinya menjadi ruang adu ide, malah dipenuhi hujatan, ujaran kebencian, dan permusuhan. Jika hal ini dibiarkan, maka politik hanya akan menjadi ladang perpecahan, bukan alat pemersatu dan perubahan.
Perbedaan Pandangan Itu Lumrah dan Sehat
Tidak ada satu bangsa pun di dunia yang masyarakatnya seragam dalam berpikir. Perbedaan adalah keniscayaan, termasuk dalam pandangan politik. Justru keberagaman pandangan inilah yang membuat demokrasi menjadi dinamis. Dalam Al-Qur'an pun Allah menciptakan manusia dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal, bukan saling memusuhi.
Dalam konteks politik, perbedaan pandangan akan membuka ruang diskusi dan evaluasi terhadap kepemimpinan yang sedang berjalan atau calon yang akan dipilih. Masyarakat perlu diberikan ruang yang sehat untuk menyampaikan pendapat, kritik, dan aspirasi tanpa rasa takut dibenci atau diintimidasi. Karena dengan perbedaan itulah sebuah sistem dapat terus diperbaiki.
Masyarakat jangan didoktrin untuk membenci kelompok atau individu hanya karena berbeda pilihan politik. Politik bukanlah agama yang mutlak benar atau salah. Setiap orang bebas memilih berdasarkan pertimbangan rasionalnya masing-masing. Maka, tugas para tim sukses dan elite politik adalah mendidik rakyat agar berpikir kritis, bukan memprovokasi mereka untuk bermusuhan.
Kritik Membangun dan Tanggapan yang Sehat Itu Perlu
Dalam iklim demokrasi, kritik adalah kebutuhan. Tanpa kritik, pemimpin bisa abai terhadap aspirasi rakyat. Namun, kritik yang sehat bukan berarti mencaci atau menyebar fitnah. Kritik harus berdasarkan fakta, data, dan argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan. Begitu pula tanggapan dari pihak yang dikritik harus diterima dengan lapang dada, karena kritik adalah bagian dari kontrol sosial.
Sayangnya, di negeri ini kritik kerap disalahartikan sebagai bentuk kebencian. Padahal, jika dilakukan dengan benar, kritik adalah bentuk kecintaan terhadap negeri. Kita butuh lebih banyak kritik konstruktif yang mengarah pada solusi, bukan kritik yang membabi buta tanpa tawaran gagasan. Misalnya, jika ada kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro-rakyat, sampaikan dengan jelas dampak buruknya dan ajukan alternatif kebijakan.
Begitu pula dalam kontestasi politik. Timses harus lebih fokus mengedukasi rakyat tentang program kerja calon, bukan menjelek-jelekkan lawan. Perdebatan antar pendukung seharusnya seputar gagasan, bukan urusan personal. Jika ada isu miring tentang calon, buktikan dulu kebenarannya sebelum menyebarkannya ke publik.
Bahaya Adu Domba Politik di Tengah Masyarakat
Adu domba antar kelompok dalam politik bisa berujung pada konflik sosial yang berkepanjangan. Sejarah telah membuktikan betapa bahayanya politik adu domba. Di zaman penjajahan, politik devide et impera (pecah belah) digunakan penjajah untuk menguasai nusantara. Kini, tanpa sadar, kita meneruskan pola itu di era demokrasi.
Ketika antar tim sukses saling serang, masyarakat akar rumput yang menjadi korban. Persaudaraan retak, kerukunan hilang, dan kebencian menyebar. Situasi seperti ini hanya menguntungkan segelintir elite yang bermain di atas penderitaan rakyat. Sementara, setelah pemilu usai, elite politik bisa kembali berdamai, sedangkan rakyat dibiarkan bermusuhan.
Inilah sebabnya penting bagi masyarakat untuk tidak mudah diadu domba. Jangan mau diperalat untuk kepentingan kekuasaan sesaat. Rakyat harus cerdas memilah informasi dan tidak mudah tersulut provokasi. Karena sejatinya, setelah pemilu, kita tetap saudara, satu tanah air, satu bangsa.
Membangun Budaya Politik yang Beradab
Politik di Indonesia butuh budaya baru yang lebih beradab. Budaya yang menempatkan perbedaan sebagai kekayaan, bukan ancaman. Budaya yang membangun ruang diskusi sehat antar pendukung, bukan arena saling serang. Budaya yang menjadikan kritik sebagai vitamin demokrasi, bukan sebagai ancaman kekuasaan.
Untuk itu, perlu keterlibatan semua pihak. Timses harus dididik agar fokus pada visi misi, bukan propaganda hitam. Media massa dan media sosial harus lebih selektif dalam menyebarkan informasi. Aparat keamanan harus bersikap netral dan tegas terhadap provokator. Dan yang paling penting, rakyat harus cerdas dalam bersikap.
Politik yang sehat akan menghasilkan pemimpin yang baik. Pemimpin yang baik lahir dari proses demokrasi yang bersih, bukan dari adu domba dan politik kebencian. Maka, sudah saatnya kita semua menyudahi budaya saling serang dalam politik dan mulai membangun peradaban politik yang bermartabat.
Penutup
Perbedaan pandangan politik adalah hal wajar dalam negara demokrasi. Namun, jangan sampai perbedaan itu menjadi alasan untuk saling menyerang, memfitnah, dan bermusuhan. Politik seharusnya menjadi ruang untuk beradu gagasan, kritik membangun, dan tanggapan sehat demi perubahan yang lebih baik bagi bangsa.
Adu domba politik hanya akan membawa rakyat pada perpecahan, sementara elite politik tetap tenang menikmati hasilnya. Maka, rakyat harus cerdas dan bijak dalam menyikapi perbedaan. Jadikan politik sebagai ajang edukasi, bukan arena permusuhan.
Karena di atas semua perbedaan itu, kita tetap bersaudara. Dan di atas semua pilihan itu, yang terpenting adalah kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa. Mari kita jaga persatuan dalam perbedaan, dan kita songsong masa depan Indonesia yang lebih baik dengan politik yang bersih, sehat, dan bermartabat.