Hidup manusia, baik secara individu maupun kolektif sebagai masyarakat dan bangsa, selalu bertumpu pada sejumlah pilar nilai yang menjadi fondasi tegaknya sebuah peradaban. Bila pilar-pilar itu kokoh, maka kehidupan akan berjalan dengan seimbang, adil, dan penuh makna. Namun sebaliknya, bila pilar itu rapuh atau bahkan runtuh, maka kehancuran menjadi keniscayaan — bukan karena serangan dari luar, melainkan akibat kelalaian dari dalam.
Empat Pilar Hidup yang Tak Boleh Ditinggalkan
Dalam pandangan saya, ada setidaknya empat pilar hidup yang menentukan arah sebuah kehidupan masyarakat:
-
Iman dan Spiritualitas
- Keimanan adalah penuntun akal dan nurani. Di saat manusia mulai menuhankan harta, jabatan, dan kepentingan pribadi, keimananlah yang akan menahan mereka dari keserakahan. Tanpa pilar ini, masyarakat akan kehilangan pegangan moral, dan hukum hanya akan jadi alat para penguasa.
-
Ilmu Pengetahuan
- Tanpa ilmu, masyarakat akan terperosok dalam kegelapan. Bukan hanya buta huruf, tapi juga buta arah. Ilmu bukan hanya sekadar angka-angka statistik, melainkan kemampuan membedakan mana yang hak dan mana yang batil. Bangsa-bangsa besar hancur bukan semata karena kalah perang, tapi karena generasi mudanya malas belajar dan puas menjadi penonton.
-
Persatuan dan Solidaritas
- Pilar ini menjadi penyangga ketahanan sosial. Sebab sebuah masyarakat yang tercerai-berai, meski memiliki sumber daya berlimpah, akan tetap rapuh. Sejarah Aceh telah mengajarkan, bagaimana kekuatan ukhuwah dan solidaritas mampu melahirkan perlawanan besar, tapi perpecahan kecil di antara elit dapat menghancurkan perjuangan bertahun-tahun.
-
Kejujuran dan Keadilan
- Tidak ada negeri yang selamat tanpa dua hal ini. Kejujuran menjadi mahkota pribadi, sedangkan keadilan menjadi mahkota negara. Saat kedua hal ini dihancurkan oleh kepentingan pribadi, maka lahirlah bencana moral yang menggerogoti bangsa dari dalam.
Petaka Kehancuran: Ketika Pilar Itu Runtuh
Ketika pilar-pilar itu diabaikan, maka perlahan sebuah masyarakat akan tergelincir ke dalam kehancuran. Petaka tak selalu datang dalam bentuk gempa atau banjir. Lebih banyak bangsa hancur karena penyakit sosial yang dibiarkan merajalela:
- Korupsi yang tak henti meski penguasa berganti
- Fitnah politik yang menghancurkan kepercayaan publik
- Perpecahan antargolongan yang dipelihara demi kekuasaan
- Kemerosotan moral di kalangan muda karena minimnya teladan
Negeri-negeri besar dalam sejarah dunia, seperti Romawi dan Andalusia, runtuh bukan karena kalah perang, tapi karena perpecahan dalam negeri dan kerusakan moral elite serta rakyatnya.
Aceh sendiri pernah berada di puncak kejayaan dengan nilai-nilai agama yang dijunjung, solidaritas rakyat, dan pemimpin yang berani. Tapi saat para elite mulai saling curiga, pemuda kehilangan arah, dan nilai-nilai agama sekadar jadi slogan, disitulah kehancuran mulai menampakkan wajahnya.
Refleksi untuk Masa Kini
Hari ini kita melihat tanda-tanda itu kembali. Ketika kemewahan lebih dipuja daripada kesederhanaan, ketika suara rakyat hanya dianggap angin lalu, ketika ulama disingkirkan dari ruang keputusan, dan ketika generasi muda lebih mengenal tokoh sinetron daripada pejuang kemerdekaan, maka itu alarm menuju petaka.
Jika kita ingin selamat, maka pilar-pilar hidup itu harus kembali ditegakkan. Mulai dari rumah, dayah, sekolah, hingga ruang parlemen. Karena bila kita menunda, sejarah hanya akan mencatat kita sebagai generasi yang membiarkan peradaban runtuh di depan mata tanpa melakukan apa-apa.
Bangkitkan Pilar, Jauhi Petaka
Jangan biarkan pilar-pilar itu roboh. Bangkitkan kembali nilai-nilai keimanan, bangun tradisi belajar, pererat persaudaraan, dan tegakkan keadilan. Karena petaka bukan takdir yang harus diterima, melainkan hasil kelalaian yang bisa dicegah.
Jika tiap kepala kampung, ulama, pemuda, hingga pemimpin daerah mau kembali menjadikan pilar-pilar ini sebagai panduan hidup, Aceh — bahkan bangsa ini — akan kembali kokoh. Bukan sekadar karena proyek-proyek infrastruktur, tapi karena kuatnya fondasi moral, spiritual, dan sosial di dalamnya.