Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Pondasi Idealisme pada kita

Kamis, 29 Mei 2025 | 23:37 WIB Last Updated 2025-05-29T16:37:57Z




Dalam perjalanan hidup, manusia kerap dihadapkan pada dua kutub yang seolah bertentangan: idealisme dan realisme. Idealisme berbicara tentang cita-cita luhur, impian tanpa batas, dan keyakinan bahwa segala hal bisa berjalan sesuai nilai dan prinsip yang diyakini. Sedangkan realisme berbicara tentang kenyataan hidup, fakta di lapangan, dan kompromi terhadap situasi yang tak selalu ideal.

Keduanya adalah bagian dari cara pandang yang wajar dimiliki manusia. Namun, seringkali perdebatan muncul: mana yang lebih baik, menjadi idealis atau realistis? Haruskah kita terus berpegang pada mimpi meskipun kenyataan berkata sebaliknya? Atau justru meninggalkan prinsip demi menyesuaikan diri dengan keadaan?

Jawaban sesungguhnya bukan soal memilih salah satu, melainkan tentang menempatkan keduanya secara proporsional. Sebab, hidup membutuhkan keduanya agar berjalan seimbang.

Apa Itu Idealisme?

Idealisme adalah sikap memegang teguh nilai, prinsip, dan keyakinan tertentu tanpa mudah goyah oleh kondisi sekitar. Seorang idealis percaya bahwa dunia bisa menjadi lebih baik jika orang-orang bersedia berjuang demi kebaikan itu. Idealisme lahir dari hati yang tulus, pemikiran yang bersih, dan keberanian untuk memperjuangkan sesuatu yang diyakini benar.

Sejarah mencatat, banyak tokoh besar lahir dari idealisme yang kuat. Nabi Muhammad SAW adalah sosok idealis yang berani membawa ajaran tauhid di tengah masyarakat jahiliyah. Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia karena idealismenya terhadap kebebasan rakyat. Begitu pula para pejuang keadilan dan kemanusiaan lainnya.

Namun idealisme juga punya sisi rapuh. Jika tak dibarengi kecerdasan membaca situasi, seorang idealis bisa menjadi kaku, fanatik, dan sulit menerima perbedaan. Bahkan, idealisme tanpa realitas bisa membuat seseorang terasing dari lingkungannya.

Apa Itu Realisme?

Realisme adalah sikap menerima kenyataan sebagaimana adanya dan menyesuaikan langkah hidup sesuai fakta yang terjadi. Seorang realistis tahu bahwa tidak semua hal berjalan sesuai keinginan, dan sering kali manusia harus berkompromi dengan situasi.

Dalam hidup sehari-hari, orang yang realistis mampu membaca situasi, melihat celah, dan mengambil keputusan berdasarkan kemungkinan terbaik di tengah keterbatasan. Realisme membuat kita tetap berpijak di bumi, tidak larut dalam mimpi kosong, dan berani menghadapi kenyataan.

Namun, realisme yang terlalu dominan bisa membuat seseorang kehilangan arah dan nilai. Jika semua hal diukur dari "apa adanya", bisa jadi seseorang berhenti bermimpi, enggan berjuang, dan membenarkan segala kondisi dengan alasan "memang begitulah hidup".

Mengapa Keduanya Perlu Berjalan Bersama?

Idealisme tanpa realisme akan berujung pada utopia — dunia khayalan tanpa pijakan. Sebaliknya, realisme tanpa idealisme hanya akan melahirkan manusia pragmatis yang hidup tanpa nilai, sekadar mengejar untung rugi.

Hidup memerlukan idealisme sebagai cahaya yang menuntun arah, dan realisme sebagai kaki yang tetap menapak tanah. Keduanya harus saling menopang, bukan saling meniadakan.

Misalnya, seorang guru idealis ingin murid-muridnya semua sukses dan berakhlak mulia. Tapi realitanya, tidak semua murid bisa diubah sekaligus. Maka, sang guru harus realistis dengan merancang pendekatan bertahap, membina siapa yang mau dulu, tanpa menyerah terhadap mimpi besarnya.

Begitu pula seorang pemimpin. Ia boleh bercita-cita mulia memberantas korupsi, membangun kesejahteraan, dan menegakkan keadilan. Namun, dalam pelaksanaannya, ia harus mampu membaca peta politik, kondisi sosial, dan kemungkinan yang ada tanpa mengorbankan prinsip dasarnya.

Islam Mengajarkan Keseimbangan

Dalam Islam, konsep seimbang antara idealisme dan realisme sangat dianjurkan. Rasulullah SAW adalah pribadi yang sangat idealis dalam menegakkan tauhid dan akhlak, tetapi juga sangat realistis dalam strategi dakwahnya.

Saat di Makkah, beliau bersabar menghadapi penolakan, meski terus menyuarakan kebenaran. Saat di Madinah, beliau membangun perjanjian dengan berbagai pihak demi menjaga stabilitas, tanpa menggadaikan prinsip agama.

Begitu pula para sahabat. Mereka rela berjuang demi nilai yang diyakini, namun tetap cerdas membaca situasi. Contoh paling nyata adalah Perjanjian Hudaibiyah. Meskipun secara kasat mata merugikan umat Islam, Rasulullah menerimanya karena pertimbangan jangka panjang, yang terbukti kemudian membawa kemenangan.

Pondasi dalam Diri: Tetap Berprinsip, Pandai Menyikapi

Kuncinya adalah membangun pondasi dalam diri yang kuat:

  • Pegang prinsip hidup yang benar. Apa nilai yang ingin kita bawa dalam hidup? Apa tujuan utama kita? Nilai-nilai inilah yang menjadi kompas saat situasi membingungkan.
  • Pahami kenyataan dengan jujur. Jangan menutup mata terhadap fakta. Hadapi kenyataan apa adanya, bukan apa maunya kita. Baru setelah itu kita cari cara terbaik untuk bergerak.
  • Berani berkompromi tanpa menggadaikan prinsip. Kompromi itu wajar dalam hidup. Yang penting, kompromi soal strategi, bukan soal nilai. Prinsip kebenaran tetap harus dijaga.
  • Jangan menyerah pada keadaan. Sekalipun realita tidak mendukung, jangan biarkan idealisme mati. Pelan-pelan, setahap demi setahap, terus perjuangkan kebaikan.

Akhir Kata

Hidup itu bukan sekadar soal idealisme atau realisme. Tapi tentang bagaimana keduanya bisa berjalan bersama, saling melengkapi. Idealisme memberi arah, realisme memberi cara. Idealisme menjaga kita tetap bermimpi, realisme menjaga kita tetap waras.

Jangan takut menjadi idealis, asal tetap pandai membaca situasi. Jangan terlalu realistis hingga kehilangan nilai. Jadilah manusia seimbang, yang terus memperjuangkan kebaikan dengan cara yang bijaksana.

Karena pada akhirnya, bukan hanya mimpi besar yang akan kita kenang di akhir hidup, tapi juga bagaimana kita berusaha menjadikan hidup ini berarti, di tengah segala keterbatasan.