Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Dunia Sandiwara dan Harapan Anak Bangsa Aceh untuk Merdeka

Jumat, 02 Mei 2025 | 20:12 WIB Last Updated 2025-05-02T13:16:49Z


Foto copas di Facebook 






Aceh. Tanah rencong, negeri syuhada, wilayah yang pernah menggetarkan dunia dengan keberaniannya. Sejarah mencatat bagaimana Aceh dulu berdiri gagah, menjadi benteng Islam di Asia Tenggara, bahkan menjadi sahabat setia bagi Turki Utsmani. Namun hari ini, di tanah yang sama, sejarah itu seperti tinggal menjadi cerita di buku-buku tua dan pidato peringatan tahunan. Aceh kini berjalan di atas panggung sandiwara politik dan kekuasaan, di mana suara anak bangsa kian samar dan harapan akan sebuah kemerdekaan sejati semakin redup.

Dunia Sandiwara: Saat Rakyat Menjadi Penonton

Aceh hari ini seperti sebuah panggung besar. Para pemainnya terdiri dari elit politik, pejabat daerah, pemodal besar, dan segelintir kelompok yang mengatasnamakan perjuangan rakyat. Setiap lima tahun, rakyat diundang menjadi penonton, disuguhi janji, program, dan slogan indah. Tapi setelah tirai politik ditutup, suara rakyat kembali sunyi, tertinggal di reruntuhan janji yang tak ditepati.

Ironisnya, sebagian anak bangsa Aceh kini terjebak dalam permainan sandiwara ini. Ada yang memilih diam, ada yang ikut jadi figuran, dan sebagian kecil tetap berdiri sebagai penyaksi setia bahwa negeri ini sebenarnya masih punya harapan. Perjuangan politik Aceh pasca MoU Helsinki yang dulunya dipuja sebagai pintu menuju kemerdekaan hakiki, kini berubah menjadi rebutan kursi, perebutan proyek, dan bisnis kekuasaan.

Kemerdekaan yang Dirampas dari Dalam

Dulu, penjajah datang dari luar, memakai senjata dan kekuatan militer. Kini, penjajahan itu justru datang dari dalam. Rakyat dipaksa percaya bahwa Aceh sudah bebas, bahwa semua persoalan bisa diselesaikan dengan politik, padahal elit-elitnya justru sibuk memperkaya diri. Sumber daya alam dieksploitasi, tanah-tanah ulayat diperjualbelikan, dan generasi muda dipaksa menerima kenyataan pahit: hidup di tanah kaya tapi miskin harga diri.

Kemerdekaan Aceh yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata kini dipermainkan oleh tangan-tangan halus berkedok pembangunan. Dunia sandiwara ini berhasil membius sebagian masyarakat, yang akhirnya lebih senang menonton ketimbang bertanya.

Harapan Anak Bangsa: Merdeka dalam Pikiran dan Tindakan

Meski demikian, harapan itu belum mati. Masih ada anak-anak muda Aceh yang tak mau ikut menjadi aktor sandiwara. Mereka membangun komunitas, dayah-dayah muda, forum-forum diskusi, hingga gerakan ekonomi rakyat kecil. Mereka sadar bahwa kemerdekaan Aceh bukan lagi soal bendera atau deklarasi politik, tapi tentang merdeka dalam pikiran, tindakan, dan harga diri.

Anak bangsa Aceh harus membangun kembali kesadaran sejarahnya. Bahwa dulu Aceh besar karena ilmunya, karena keberanian moralnya, dan karena solidaritas sesama anak negerinya. Hari ini, di tengah panggung sandiwara kekuasaan, anak bangsa Aceh harus berani keluar dari peran pasif, berani menulis naskah baru untuk masa depan.

Perjuangan Bukan Hanya di Senjata, Tapi di Pikiran

Aceh tak butuh perang senjata lagi. Yang dibutuhkan hari ini adalah perang gagasan, perang kejujuran, dan keberanian untuk melawan kemunafikan politik. Anak muda Aceh harus berani bicara, berani menulis, berani melawan lupa, dan berani menggugat ketidakadilan.

Merdeka bagi Aceh hari ini adalah ketika setiap anak muda bisa menempuh pendidikan tanpa takut bayar mahal, ketika petani bisa mengolah tanahnya tanpa takut digusur investor, ketika perempuan Aceh bisa bersuara tanpa stigma, dan ketika rakyat kecil tak perlu sujud di depan pejabat korup demi sekarung beras.

Refleksi: Jangan Jadikan Aceh Kuburan Sejarah

Dunia sandiwara politik Aceh harus disudahi. Rakyat butuh pemimpin, bukan pelawak politik. Anak bangsa Aceh harus menolak menjadi generasi penerus yang hanya mengandalkan nostalgia masa lalu tanpa mampu menciptakan sejarah baru.

Jika dulu Sultan Iskandar Muda menggetarkan selat Malaka, hari ini anak Aceh harus bisa menggetarkan dunia dengan karya, gagasan, dan moralitas. Jangan jadikan Aceh hanya sebagai kuburan sejarah yang ditangisi setiap 4 Desember atau saat peringatan tsunami. Aceh butuh anak bangsanya yang merdeka secara pikiran dan berani mengambil peran.

Penutup

Dunia sandiwara boleh saja terus berjalan, tapi harapan anak bangsa Aceh untuk merdeka sejati tak boleh padam. Merdeka bukan sekadar soal bendera, tapi soal harga diri, keadilan, dan kesempatan yang sama untuk seluruh rakyat. Jika generasi hari ini berani jujur pada diri sendiri, keluar dari sandiwara, dan membangun jalan baru, maka kemerdekaan sejati itu bisa dicapai — bukan lewat slogan, tapi lewat tindakan.