Janji yang Tak Lagi Setangguh Akad
Di hadapan penghulu, tangan ayah disodorkan, janji diucap, mahar diserahkan. Semua saksi mengamini: inilah awal dari perjalanan suci bernama pernikahan. Namun, di era digital ini, janji yang begitu sakral seringkali tidak bertahan lama.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 mencatat, dari 516 ribu kasus perceraian di Indonesia, lebih dari 20% terjadi pada pasangan dengan usia pernikahan di bawah lima tahun. Di banyak Pengadilan Agama, faktor penyebabnya kini bergeser: dari masalah klasik seperti ekonomi dan campur tangan keluarga, menjadi masalah komunikasi digital, perselingkuhan daring, hingga tekanan gaya hidup media sosial.
Seorang hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Dr. Ahmad Rifqi, menyebut fenomena ini sebagai “perceraian 5G” — cepat, instan, dan seringkali tanpa proses perenungan yang cukup.
1. Cinta di Era Digital: Antara Koneksi Internet dan Koneksi Hati
Media sosial, aplikasi pesan instan, dan platform hiburan telah mengubah cara kita membangun, memelihara, bahkan mengakhiri hubungan.
- Dulu, jarak fisik menjadi ujian cinta.
- Sekarang, jarak emosional yang lahir dari terlalu banyak koneksi virtual justru menjadi penyebab retaknya rumah tangga.
Pasangan muda kerap mengalami paradoks kedekatan: mereka selalu “terhubung” lewat gawai, tetapi jarang benar-benar hadir secara emosional.
Konselor pernikahan Dian Pramesti, M.Psi menyebut fenomena ini sebagai silent drift — perlahan menjauh karena komunikasi yang dangkal dan minim kualitas.
2. Data yang Mengkhawatirkan: Perceraian Pasangan Muda
Berdasarkan data Ditjen Badilag Mahkamah Agung (2024):
- 70% gugatan cerai diajukan oleh pihak istri.
- 35% penyebabnya adalah disharmoni rumah tangga terkait media sosial dan komunikasi digital.
- Provinsi dengan tingkat perceraian pasangan muda tertinggi:
- Jawa Timur (82 ribu kasus/tahun)
- Jawa Barat (74 ribu kasus/tahun)
- Aceh (4.800 kasus/tahun, 30% di antaranya pasangan di bawah 5 tahun menikah)
3. Faktor Utama Perceraian Pasangan Muda di Era Digital
a. Godaan Lintas Batas
WhatsApp, Instagram, Telegram, dan bahkan game online memudahkan interaksi lawan jenis tanpa batas. Hubungan “sekadar chat” bisa berubah menjadi ikatan emosional yang mengancam rumah tangga.
b. Ekspektasi yang Dibentuk Media Sosial
Pasangan muda membandingkan kehidupannya dengan “cuplikan terbaik” pasangan lain di Instagram. Yang tampak mewah di layar belum tentu sama dengan realitas.
c. Kematangan Emosional Rendah
Banyak yang menikah muda tanpa bekal mengelola konflik. Masalah kecil dibesar-besarkan, perbedaan dianggap pengkhianatan.
d. Tekanan Ekonomi dan Gaya Hidup Konsumtif
Tren belanja online, cicilan barang mewah, dan tuntutan gaya hidup menjadi bom waktu finansial.
e. Privasi yang Tergerus
Kebiasaan memamerkan masalah rumah tangga di media sosial mengundang komentar publik, memperkeruh suasana.
4. Perspektif Hukum: UU dan Syariat Islam
Hukum Positif
- UU No. 1 Tahun 1974 jo. UU No. 16 Tahun 2019: Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah upaya mediasi.
- Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 116: Alasan perceraian meliputi perselisihan terus-menerus, pelanggaran kewajiban suami/istri, dan perselingkuhan.
Hukum Islam
- Al-Qur’an melarang perceraian tanpa alasan yang dibenarkan: “Janganlah kamu menceraikan mereka kecuali karena alasan yang jelas.” (QS. At-Talaq: 1)
- Rasulullah SAW bersabda: “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (HR. Abu Dawud)
Kedua hukum ini menegaskan bahwa perceraian seharusnya menjadi jalan terakhir, bukan solusi instan.
5. Studi Kasus Nyata
Kasus 1: Like yang Membawa ke Meja Hijau
Seorang istri di Bandung menggugat cerai karena suaminya sering memberi “like” pada foto mantan di Instagram. Awalnya hanya cemburu kecil, namun berujung saling memeriksa ponsel dan hilangnya kepercayaan.
Kasus 2: Nikah Usia 20, Cerai Usia 22
Pasangan mahasiswa di Yogyakarta menikah karena cinta. Namun, tekanan biaya kuliah, interaksi bebas dengan teman lawan jenis, dan cemburu berlebihan memicu perceraian hanya dua tahun kemudian.
6. Dampak Perceraian Pasangan Muda
- Psikologis – Depresi, kehilangan rasa percaya diri, trauma hubungan.
- Ekonomi – Kehilangan stabilitas keuangan, apalagi jika salah satu tidak bekerja.
- Sosial – Stigma dari masyarakat, terutama bagi perempuan.
- Anak – Luka batin, kehilangan figur ayah/ibu.
7. Solusi Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Jangka Pendek
- Pendidikan Pra-Nikah: Fokus pada manajemen konflik, literasi finansial, dan etika digital.
- Kontrak Digital: Sepakati batas interaksi online, waktu bebas gadget, dan aturan privasi.
- Konseling Rutin: Datang ke konselor pernikahan minimal setahun sekali, seperti medical check-up.
Jangka Panjang
- Integrasi Literasi Digital dalam Pendidikan Keluarga: Kurikulum sekolah dan masjid.
- Gerakan Nasional Etika Media Sosial: Edukasi penggunaan teknologi secara sehat.
- Perlindungan Hukum untuk Korban Kekerasan Digital dalam Rumah Tangga: Revisi UU ITE dan UU PKDRT agar mencakup kekerasan berbasis teknologi.
8. Refleksi: Cinta Tak Bisa Diselamatkan oleh Sinyal 5G
Di zaman ini, kita sering mengandalkan gawai untuk semua hal, termasuk cinta. Padahal, sinyal internet bisa hilang, tetapi sinyal hati harus dijaga.
Cinta sejati adalah tentang kesediaan untuk hadir secara utuh, bukan sekadar mengetik “I love you” di layar.
Seperti kata bijak dari Ali bin Abi Thalib:
"Cinta itu bukan kata yang diucap, tetapi amanah yang dijaga."
Penutup
Jika tren perceraian pasangan muda ini terus dibiarkan, kita bukan hanya kehilangan rumah tangga, tetapi juga merusak generasi mendatang. Maka, kita perlu membangun ketahanan keluarga digital:
- Kuat dalam iman,
- Matang dalam emosi,
- Bijak dalam teknologi.
Karena pernikahan bukan konten untuk dipamerkan, melainkan ibadah yang harus dipelihara.
Penulis Azhari