Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Refleksi: Ketika Senior Menikung Demi Jabatan, Politik Kehilangan Martabat

Selasa, 13 Mei 2025 | 21:41 WIB Last Updated 2025-05-13T14:41:51Z




Oleh: Azhari 

Politik sejatinya adalah jalan mulia untuk mengabdi, bukan sekadar perebutan kursi dan jabatan. Tapi, idealisme itu kerap terkubur di balik ambisi dan permainan kotor. Salah satu penyakit kronis dalam politik — terutama di lingkungan organisasi, partai, atau komunitas sosial — adalah fenomena “senior menikung kader demi jabatan.” Sebuah tikungan tajam yang bukan hanya melukai, tapi mematikan harapan generasi muda.

Ketika Senior Jadi Pemangsa, Bukan Pembina

Dalam tatanan organisasi politik, senior seharusnya menjadi pendidik, pembina, sekaligus pelindung bagi kader muda. Tapi yang terjadi, tidak sedikit senior yang justru menjadi pemangsa. Saat kader muda bersinar dan mulai dipercaya publik, senior ini merasa terusik. Mereka lupa bahwa dulunya pun pernah dibantu oleh generasi sebelum mereka.

Alih-alih mendorong kader muda, mereka malah sibuk menyusun siasat, membangun fitnah, dan menebar intrik agar jalan kader itu terhambat. Lebih buruk lagi, mereka secara diam-diam merebut peluang yang seharusnya diberikan kepada kader muda, dengan alasan “demi organisasi,” padahal demi kepentingan pribadi.

Politik Tanpa Etika, Penghianatan Jadi Budaya

Fenomena tikung-menikung demi jabatan ini bukan hal baru. Tapi ironisnya, di beberapa tempat justru dianggap hal biasa. Mereka yang berhasil menikung dianggap cerdas. Mereka yang bertahan dengan idealisme dianggap bodoh. Politik kehilangan etika, karena yang dipuja bukan lagi kejujuran, tapi kepintaran berbohong dan bersiasat.

Akibatnya, kader muda yang memiliki idealisme pun kecewa. Sebagian memilih mundur, sebagian terpaksa ikut arus, dan sisanya hanya menjadi pelengkap penderitaan. Organisasi pun lambat laun kehilangan ruh perjuangan. Yang tersisa hanya kumpulan orang-orang yang saling berebut kursi tanpa memikirkan nasib rakyat.

Keteladanan Bukan Ceramah, Tapi Perilaku

Sejatinya, jabatan dalam politik adalah amanah. Jika senior benar-benar ingin dihormati, hormatilah proses kaderisasi. Jika ingin dikenang, jangan rebut hak generasi penerus. Karena keteladanan tidak lahir dari ceramah panjang atau buku tebal, tapi dari perilaku yang konsisten.

Jabatan itu titipan. Kekuasaan itu sementara. Jangan biarkan sejarah mencatat nama-nama senior sebagai pengkhianat nilai, penjegal anak muda, dan perusak tatanan politik. Sebab kelak, jabatan itu akan pergi, tapi nama buruk akan tinggal dalam ingatan orang banyak.

Kader Muda Harus Bangkit, Bukan Tunduk

Untuk kader muda, jangan biarkan tikungan senior mematahkan semangat. Justru jadikan itu cambuk untuk terus memperkuat barisan, membangun solidaritas, dan memperjuangkan politik sehat yang berbasis nilai. Jangan ikut-ikutan bermain kotor hanya karena kecewa.

Karena perubahan tak lahir dari orang-orang tua yang cinta jabatan. Perubahan lahir dari keberanian anak muda yang berani melawan arus dan tetap berdiri tegak meski dicaci, dikhianati, bahkan disingkirkan.

Penutup: Warisan Politik atau Warisan Aib?

Akhirnya, setiap kita yang pernah terlibat dalam organisasi atau politik harus bertanya kepada diri sendiri: apa yang ingin kita wariskan? Apakah warisan politik penuh nilai dan keteladanan, atau sekadar aib tikungan demi jabatan?

Sejarah selalu mencatat. Nama-nama pengkhianat perjuangan akan abadi dalam ingatan rakyat. Begitu juga nama-nama pejuang sejati, yang meski tak memegang jabatan tinggi, akan selalu dikenang karena nilai yang dijaganya.

Mari jaga politik kita. Bangun kaderisasi sehat. Hentikan budaya menikung demi kursi. Karena politik yang bermartabat adalah ketika tua memberi jalan, muda membawa harapan, dan semua berjalan dalam nilai bersama.