Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Refleksi Pendidikan Dayah: Benteng Generasi Muda Aceh di Era Digital 2025

Rabu, 14 Mei 2025 | 23:06 WIB Last Updated 2025-05-14T16:06:44Z




Oleh: Azhari 

Aceh adalah negeri dengan warisan peradaban Islam yang panjang. Negeri ini bukan sekadar Serambi Mekkah dalam sebutan simbolik, melainkan memang pernah menjadi pusat keilmuan dan peradaban Islam di kawasan Asia Tenggara. Salah satu pilar utama yang menjaga nilai-nilai itu hingga kini adalah dayah.

Dayah bukan sekadar lembaga pendidikan agama, tetapi merupakan benteng moral, pusat pembentukan akhlak, dan tempat lahirnya pejuang-pejuang keadilan, ulama, dan pemimpin masyarakat.

Namun kini, di tengah era digital yang serba bebas dan tanpa batas, posisi dayah mulai terpinggirkan di mata sebagian generasi muda Aceh. Mereka lebih akrab dengan tren media sosial, game online, budaya viral, dan tontonan global yang tak selalu sejalan dengan nilai moral keislaman.

Inilah saatnya kita, sebagai bangsa Aceh, merefleksikan kembali betapa pentingnya pendidikan dayah bagi generasi muda Aceh di era digital 2025. Tanpa itu, kita bisa kehilangan arah dan identitas.

Dayah, Warisan Aceh yang Tak Lekang oleh Zaman

Sejarah mencatat, Aceh di masa Kesultanan Islam adalah negeri yang disegani karena kemajuan ilmu pengetahuan dan agamanya. Dayah menjadi pusat pendidikan formal dan non-formal, tempat para santri menimba ilmu agama, tata negara, kepemimpinan, hingga strategi perang.

Nama-nama ulama besar seperti Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman, Teungku Chik Pante Kulu, hingga Abuya Muda Waly lahir dari tradisi dayah. Mereka bukan hanya ulama, tapi juga pemimpin, pejuang, dan pendidik masyarakat.

Di Aceh, dayah lebih dari sekadar pesantren. Ia adalah tempat membangun karakter, mental spiritual, dan kecintaan pada agama serta tanah air. Santri dayah dibentuk bukan hanya jadi penghafal kitab, tapi juga penjaga moral masyarakat.

Era Digital: Ancaman Senyap bagi Generasi

Memasuki tahun 2025, Aceh tidak bisa menutup diri dari perkembangan teknologi. Semua lini kehidupan mulai terdigitalisasi. Informasi menyebar cepat, tanpa filter, tanpa sekat. Ini menjadi peluang sekaligus ancaman bagi generasi muda.

Media sosial menjadi ladang subur bagi budaya hedonisme, pergaulan bebas, hoaks, ujaran kebencian, hingga penyebaran paham-paham ekstrem. Anak-anak muda Aceh, tanpa fondasi moral yang kuat, sangat rentan terjebak dalam gelombang budaya digital global yang bertolak belakang dengan nilai-nilai syariat Islam.

Beberapa tahun terakhir, Aceh mulai menghadapi problem sosial yang mengkhawatirkan: meningkatnya kasus kekerasan seksual, pernikahan dini, narkoba, dan budaya pamer harta di media sosial. Hal-hal yang dulu tabu di Aceh, kini mulai dianggap biasa.

Di sinilah pentingnya pendidikan dayah hadir kembali.

Dayah dan Digital, Haruskah Bermusuhan?

Selama ini, masih ada pandangan sebagian masyarakat bahwa dayah adalah lembaga tradisional yang ketinggalan zaman dan tak bisa bersaing di era digital. Ini kekeliruan fatal.

Dayah justru bisa menjadi benteng moral sekaligus agen literasi digital berbasis nilai keislaman. Dayah bisa mengambil peran penting sebagai pengawal etika generasi muda Aceh di dunia maya.

Caranya tentu dengan menginovasi metode dan pendekatan pendidikan. Dayah harus tetap menjaga nilai-nilai klasiknya, tapi sekaligus adaptif terhadap teknologi. Menggunakan teknologi bukan berarti meninggalkan tradisi, tapi justru memperluas syiar dan dakwah.

Langkah Strategis Integrasi Dayah-Digital

Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh agar pendidikan dayah tetap relevan di era digital:

  1. Digitalisasi Kitab Turats:
    Dayah-dayah di Aceh bisa mulai mendigitalisasi kitab-kitab warisan ulama agar bisa diakses lebih luas oleh masyarakat dan santri, baik di Aceh maupun di perantauan. Ini sekaligus melestarikan khazanah keilmuan Aceh.

  2. Pelatihan Literasi Digital Islami:
    Santri perlu dibekali keterampilan bermedia sosial yang baik, memahami etika digital, mampu membedakan berita hoaks, serta memanfaatkan platform digital sebagai sarana dakwah kreatif.

  3. Produksi Konten Islami Modern:
    Dayah bisa membentuk unit media santri untuk membuat video dakwah, podcast, ceramah interaktif, dan tulisan keislaman di media sosial. Konten ini harus dikemas dengan bahasa anak muda tanpa meninggalkan nilai keilmuan.

  4. Jaringan Dayah Digital:
    Antar dayah bisa membangun platform digital bersama untuk berbagi ilmu, pengalaman, dan menyelenggarakan diskusi keagamaan daring lintas dayah.

  5. Pelibatan Alumni Dayah di Media Digital:
    Alumni dayah yang sudah menguasai teknologi informasi bisa menjadi duta literasi digital Islami, memperkuat kehadiran dayah di ruang publik digital.

Menghadang Krisis Moral di Tanah Serambi Mekkah

Aceh adalah daerah yang menjadikan syariat Islam sebagai landasan hukum. Namun realita hari ini, krisis moral mulai menjangkiti anak-anak muda. Fenomena budaya flexing (pamer harta), pacaran bebas, dan aksi viral demi popularitas menjadi ancaman serius.

Jika situasi ini dibiarkan tanpa intervensi pendidikan akhlak, Aceh bisa kehilangan identitasnya. Generasi muda Aceh bisa menjadi pintar secara akademik, namun rapuh moral dan mentalnya.

Dayah harus kembali tampil sebagai benteng moral masyarakat Aceh. Bukan sekadar tempat belajar agama, tapi pusat peradaban baru yang adaptif, kreatif, dan mampu menjawab tantangan zaman.

Refleksi 2025: Saatnya Aceh Kembali ke Dayah

Momentum 2025 ini harus menjadi titik balik. Pemerintah Aceh bersama ulama dan masyarakat harus menyusun strategi besar pemberdayaan dayah. Bukan hanya sebatas bantuan anggaran, tapi juga peran aktif dalam membangun ekosistem pendidikan dayah-digital.

Sebagai usulan, setiap pemuda Aceh sebaiknya pernah merasakan pendidikan dayah. Minimal dalam bentuk program jangka pendek, pesantren Ramadan, atau sekolah akhlak berbasis dayah.

Karena sehebat apapun teknologi, secepat apapun informasi, pada akhirnya manusia tetap butuh moral. Dan Aceh, dengan tradisi dayah-nya, telah memiliki fondasi itu sejak ratusan tahun lalu.

Penutup: Dayah Bukan Sekadar Warisan, Tapi Masa Depan

Pendidikan dayah jangan lagi diposisikan sekadar warisan tradisi, tapi sebagai pilar masa depan Aceh. Dalam dunia yang makin bebas, keberadaan dayah justru menjadi kebutuhan.

Dayah adalah benteng akhlak, pengawal syariat, penjaga adat, dan pusat literasi keislaman yang harus dilestarikan dan diperkuat. Dayah tidak boleh ditinggalkan hanya karena zaman berubah, justru harus dijadikan pusat pembentukan karakter anak muda Aceh di era digital.

Jika kita ingin Aceh tetap mulia, bermartabat, dan menjadi mercusuar Islam di Nusantara, kuncinya ada di tangan dayah dan para ulama.

Sudah saatnya kita, masyarakat Aceh, pemerintah, dan generasi muda kembali bersujud di lantai dayah, menimba akhlak, ilmu, dan nilai moral yang telah diwariskan leluhur kita. Karena hanya dengan itu, Aceh bisa tetap tegak di dunia digital tanpa kehilangan jati dirinya.


Pegiat literasi dayah dan pemerhati sosial Aceh.