Di antara luka paling dalam yang dialami sebuah bangsa bukan hanya penjajahan oleh bangsa asing, tapi justru pengkhianatan oleh anak bangsanya sendiri. Sejarah dunia — termasuk Indonesia — dipenuhi kisah getir tentang bagaimana sebagian rakyatnya rela menggadaikan kehormatan, martabat, bahkan nasib bangsanya demi kepentingan pribadi, kekuasaan, atau harta benda.
Pengkhianatan seperti ini tak hanya terjadi di masa lalu, tapi masih berlangsung hingga hari ini. Bedanya, jika dulu bentuknya terang-terangan berupa menjadi kaki tangan penjajah, kini ia menjelma dalam rupa korupsi, politik uang, persekongkolan elit, penjualan aset bangsa, hingga pengabaian terhadap kepentingan rakyat kecil.
Sejarah Tak Pernah Lupa
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau belajar dari sejarahnya. Jika kita membuka lembar-lembar sejarah Indonesia, kita menemukan banyak contoh pengkhianatan yang memilukan.
Dulu, saat bangsa ini berjuang merebut kemerdekaan, ada saja segelintir orang yang memilih berpihak pada penjajah. Mereka rela menjadi mata-mata, perantara, bahkan algojo atas rakyatnya sendiri, demi jabatan dan keamanan pribadi. Ada yang membocorkan strategi perjuangan, ada yang menyerahkan pemimpin perlawanan, ada pula yang sekadar diam demi selamat.
Luka itu masih membekas. Dan ternyata, setelah merdeka pun pengkhianatan tak lantas sirna. Bentuknya memang berubah, tapi esensinya tetap sama: mengutamakan kepentingan diri di atas kepentingan bangsa.
Di Mana Pengkhianatan Hari Ini?
Jika dulu pengkhianat bangsa berpakaian serdadu kolonial, hari ini mereka berseragam rapi berdasi, duduk di kursi empuk, tampil di layar kaca, bahkan mungkin memimpin institusi. Mereka adalah para koruptor yang mencuri uang rakyat. Mereka yang menjual izin-izin tambang dan lahan tanpa memikirkan nasib lingkungan dan masyarakat adat. Mereka yang menukarkan suara rakyat dengan segepok amplop.
Mereka adalah pejabat yang pura-pura peduli tapi diam melihat kemiskinan merajalela. Mereka yang lebih sibuk membangun citra diri ketimbang memperbaiki nasib rakyatnya. Mereka yang hanya muncul saat musim pemilu, lalu kembali tidur di balik meja kekuasaan.
Lebih menyakitkan lagi, mereka sesama anak bangsa. Orang yang lahir, besar, makan dari tanah air yang sama, lalu dengan tega mengkhianati bangsanya sendiri.
Bangsa yang Tidak Belajar Akan Diulang Sejarahnya
Kita sering mengutuk para pengkhianat di masa lalu, tapi lupa bahwa di masa kini, sejarah itu sedang berulang di hadapan kita. Hanya saja, kemasannya lebih canggih, lebih halus, lebih tersamar.
Sayangnya, bangsa ini kadang terlalu mudah lupa. Pelaku kejahatan kemanusiaan, perampok aset negara, hingga koruptor kelas kakap bisa kembali tampil di publik seolah pahlawan. Dulu dicaci, kini dielu-elukan. Dulu dicap biang kehancuran, kini dipanggil "bapak pembangunan".
Inilah bentuk pengkhianatan bangsa atas bangsanya sendiri — bukan hanya oleh pelakunya, tapi juga oleh rakyat yang diam atau bahkan membiarkan.
Jangan Biarkan Pengkhianatan Menjadi Budaya
Bangsa ini tidak kekurangan orang baik, yang kekurangan adalah keberanian untuk bersuara. Jika pengkhianatan dibiarkan, ia akan menjadi budaya. Jika ketidakadilan dianggap lumrah, ia akan jadi kebiasaan. Jika perampokan uang negara hanya dianggap skandal musiman, maka lambat laun bangsa ini benar-benar habis, bukan oleh penjajah luar, tapi oleh pengkhianat dari dalam.
Pendidikan karakter dan moral bukan sekadar teori di ruang kelas. Ia harus hidup dalam keseharian masyarakat, ditanamkan sejak dini di rumah, di sekolah, di tempat ibadah, di kantor pemerintahan, hingga ke pusat kekuasaan. Kita perlu membangun generasi yang bukan hanya pintar, tapi juga benar.
Bangsa yang Kuat, Bangsa yang Setia pada Dirinya Sendiri
Bangsa yang kuat bukan hanya yang memiliki senjata canggih atau ekonomi besar, melainkan bangsa yang setia kepada dirinya sendiri. Setia pada nilai-nilai kebaikan, setia memperjuangkan kepentingan bersama, setia menjaga harga diri bangsanya.
Setia bukan berarti buta terhadap kekurangan, tapi jujur mengakui, berani memperbaiki, dan teguh membela yang benar. Itulah pondasi bangsa yang tahan uji.
Penutup: Saatnya Berbenah
Hari ini, kita tidak bisa lagi berpura-pura. Pengkhianatan terhadap bangsa bisa datang dari mana saja — dari elit politik, aparat, pengusaha rakus, hingga rakyat yang menjual suaranya. Semua harus dikoreksi.
Mulailah dari diri sendiri. Jangan tunggu jadi pejabat untuk peduli. Jangan tunggu viral untuk peduli. Bangunlah keberanian menyuarakan yang benar, meskipun kecil. Karena negeri ini akan berubah bukan hanya oleh revolusi besar, tapi oleh kesadaran kecil yang terus menyala.
Semoga bangsa ini bisa kembali menemukan harga dirinya. Dan semoga kita tak menjadi bagian dari pengkhianatan itu — walau sekecil apapun.