Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Sabang vs Temasek: Pertarungan Dua Pelabuhan di Jalur Sutra Laut

Kamis, 29 Mei 2025 | 20:23 WIB Last Updated 2025-05-29T13:24:05Z




Oleh: Azhari 

Di ujung barat Nusantara, di sebuah pulau kecil bernama Weh, terbentang pelabuhan alam yang dulu pernah menjadi simpul dagang internasional. Sabang, demikian nama kota kecil itu, pernah tercatat dalam peta dunia sebagai Kolen Station — stasiun batu bara yang melayani kapal-kapal uap dari Eropa ke Asia Timur, jauh sebelum Singapura menemukan kejayaannya. Namun sejarah terkadang berlaku kejam. Jika hari ini nama Sabang sekadar romantisme wisatawan tentang “pulau nol kilometer,” Singapura atau Temasek justru menjelma menjadi mercusuar maritim Asia Tenggara.

Padahal, dua kota pelabuhan ini dulunya bersaing di jalur sutra laut. Dan pertarungan itu tak sekadar soal pelabuhan, tapi soal visi, strategi politik, dan keberanian menghadapi zaman.


Jalur Sutra Laut dan Pusaran Selat Malaka

Sejak abad ke-7, Selat Malaka menjadi jalur perdagangan laut paling strategis di dunia. Dari Jazirah Arab, India, Cina, hingga Eropa, kapal-kapal dagang melintasi selat ini membawa rempah-rempah, emas, sutra, dan keramik. Sinbad dalam kisahnya berlayar dari Sohar, Oman, menuju Maldives, Sri Lanka, Andaman, Nias, dan Pulau Weh. Bahkan ahli bumi Yunani, Ptolomacus, pada 301 SM pernah singgah ke Pulau Weh dan mencatatnya sebagai Pulau Emas dalam peta para pelaut.

Sabang dengan pelabuhan alamnya, perairan yang dalam, dan posisi terlindung menjadi tempat persinggahan yang strategis. Sebuah pelabuhan ideal di jalur sutra laut.


Sabang: Dermaga Emas di Ujung Barat

Pada 1881, pemerintah Hindia Belanda membuka Sabang sebagai Kolen Station. Dermaga ini melayani kapal-kapal uap internasional, menjadi tempat pengisian batu bara dan perbaikan kapal sebelum melanjutkan pelayaran ke Timur Jauh. Saat itu, Sabang jauh lebih penting dibandingkan Temasek (Singapura) yang baru saja bangkit di bawah kendali Inggris.

Sabang memiliki semua faktor geografis yang diidamkan pelaut dunia: perairan dalam, terlindung, berada tepat di simpul persimpangan Samudra Hindia dan Selat Malaka. Bahkan hingga menjelang Perang Dunia II, Sabang menjadi pelabuhan terpenting di wilayah barat Hindia Belanda.

Namun, Sabang terlalu militeristik. Pemerintah kolonial lebih menjadikannya pangkalan logistik dan pertahanan, bukan kota dagang bebas. Sementara di sisi lain, Temasek mulai bertransformasi.


Temasek: Dari Bandar Kecil ke Pusat Dagang Bebas

Temasek yang berarti “Kota Laut” sudah dikenal sejak abad ke-14. Namun baru pada 1819, saat Stamford Raffles mendirikannya sebagai pelabuhan bebas, Singapura mulai berkembang. Raffles paham bahwa pelabuhan bebas lebih efektif menarik pedagang asing daripada pelabuhan yang dikontrol militer.

Strategi Inggris berbeda total dari Belanda. Jika Sabang dijadikan pangkalan angkatan laut, Singapura dijadikan zona perdagangan bebas tanpa bea masuk, tanpa pajak tinggi, dan terbuka bagi siapa saja. Maka arus barang, modal, dan manusia berbondong-bondong ke Singapura.

Dalam waktu singkat, Temasek berubah wajah menjadi Singapura yang sibuk. Kapal-kapal dari Arab, India, Cina, dan Eropa lebih memilih Temasek karena kebijakan bebasnya.


Pertarungan Kolonial di Selat Malaka

Dua pelabuhan, dua strategi. Sabang mengandalkan letak strategis dan fasilitas logistik, Singapura mengandalkan kebijakan dagang bebas dan konektivitas. Hasilnya? Sabang hanya sibuk di lingkaran kapal militer dan kapal dagang Belanda, sementara Singapura menjadi simpul dagang internasional.

Politik kolonial Hindia Belanda yang paranoid dan terlalu konservatif membuat Sabang kehilangan momentum. Saat kapal-kapal uap membutuhkan pelabuhan pengisian batu bara, Sabang ramai. Tapi ketika teknologi kapal minyak muncul, dan perdagangan global butuh pelabuhan modern, Sabang tertinggal.


Singapura Menang, Sabang Tenggelam

Pasca Perang Dunia II, Singapura makin mengukuhkan diri. Dengan kemerdekaan politik dan dukungan Inggris serta AS, Singapura tumbuh menjadi pusat keuangan, logistik, dan teknologi Asia. Sementara Sabang perlahan redup.

Pemerintah Indonesia tak terlalu serius memanfaatkan posisi Sabang. Pelabuhan yang dulu dibangun Belanda akhirnya lebih banyak melayani kapal penumpang dan wisatawan. Infrastruktur pelabuhan modern tak berkembang optimal. Zona Perdagangan Bebas Sabang yang dideklarasikan pada 2000-an pun tak sebanding gaungnya dengan pelabuhan bebas Singapura.


Refleksi: Haruskah Sabang Menyerah?

Hari ini, ketika geopolitik Samudra Hindia kembali memanas, Sabang seharusnya punya peluang kedua. Letaknya di pintu gerbang jalur minyak dunia dari Teluk Persia, dekat dengan India, Sri Lanka, dan Selat Malaka, membuatnya tetap strategis.

Namun peluang itu hanya bisa diambil jika ada keberanian politik. Sabang perlu ditata ulang sebagai pelabuhan perdagangan bebas internasional berbasis logistik maritim dan industri galangan kapal. Zona ekonomi khusus Sabang harus benar-benar bebas, terbuka untuk investasi global, dan didukung infrastruktur pelabuhan kelas dunia.


Penutup: Jejak Sejarah, Cermin Masa Depan

Pertarungan Sabang vs Temasek adalah kisah tentang bagaimana visi menentukan takdir sebuah kota pelabuhan. Sabang punya alam, punya posisi, punya sejarah. Tapi Singapura punya keberanian mengubah strategi dan mengikuti arus zaman.

Kini, ketika arus globalisasi bergeser ke kawasan Indo-Pasifik, akankah Sabang kembali bangkit dan menjemput takdir maritimnya? Ataukah ia hanya tinggal legenda di peta jalur sutra laut masa lalu?

Sejarah telah menulis bab pertama. Masa depan, ada di tangan kita.