Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Singapura Kini , Sabang Sekarang

Kamis, 29 Mei 2025 | 20:27 WIB Last Updated 2025-05-29T13:29:23Z


Di penghujung barat Indonesia, sebuah kota kecil bernama Sabang menyimpan jejak peradaban maritim dunia yang nyaris terlupakan. Pulau Weh, di mana Sabang berada, tak sekadar menjadi titik nol kilometer Indonesia. Ia pernah menjadi simpul penting jalur perdagangan laut internasional yang dikenal sebagai Jalur Sutra Laut. Namun sejarah menuliskan jalan berbeda. Jika Temasek (Singapura) menjelma sebagai pelabuhan modern dan pusat perdagangan dunia, Sabang justru redup di balik pesona alamnya.

Padahal, dua pelabuhan ini dulunya sama-sama bersaing memperebutkan pengaruh di Selat Malaka. Kisah Sabang dan Temasek bukan hanya soal pelabuhan, melainkan tentang kebijakan kolonial, keberanian melihat peluang, dan kepiawaian membaca zaman.


Sabang: Pelabuhan Emas di Ujung Barat

Sejarah mencatat, sekitar abad ke-12, pelaut legendaris Sinbad dalam kisahnya berlayar dari Oman, melalui Maldives, India, Sri Lanka, Andaman, Nias, dan berlabuh di Pulau Weh. Ia menamai pulau itu sebagai Pulau Emas. Dalam catatan lain, ahli bumi Yunani, Ptolomacus, pada abad ke-3 SM juga berlabuh di pulau ini, menandainya sebagai titik penting di peta pelaut dunia.

Ketika teknologi kapal uap berkembang pesat, posisi Sabang yang strategis di persimpangan Samudra Hindia dan Selat Malaka kembali dilirik. Tahun 1881, pemerintah Hindia Belanda membuka Sabang sebagai Kolen Station, tempat pengisian batu bara kapal-kapal uap Eropa menuju Asia Timur.

Kealamian pelabuhan Sabang yang dalam dan terlindung membuatnya ideal sebagai dermaga internasional. Bahkan sebelum Perang Dunia II, Sabang menjadi pelabuhan paling penting di Hindia Belanda bagian barat, mengalahkan Temasek yang saat itu baru berkembang di bawah kekuasaan Inggris.


Temasek: Kota Laut yang Bangkit

Temasek dalam catatan Nagarakretagama disebut sebagai kota pelabuhan di abad ke-14. Namun kejayaan modernnya bermula pada 1819 saat Stamford Raffles mendirikannya sebagai pelabuhan bebas. Strategi Inggris berbeda total dengan Belanda. Jika Belanda menjadikan Sabang pangkalan militer, Inggris menjadikan Temasek pelabuhan dagang bebas tanpa bea cukai, pajak rendah, dan terbuka bagi siapa saja.

Keputusan itu terbukti jitu. Dalam waktu singkat, Temasek berkembang pesat. Kapal-kapal dagang dari India, Arab, Tiongkok, dan Eropa berbondong-bondong memilih Temasek yang kemudian berubah nama menjadi Singapura. Pelabuhan ini menjadi simpul perdagangan rempah, teh, kain, dan emas, menjadikannya kota pelabuhan terpenting di Asia Tenggara.


Pertarungan Dua Strategi Kolonial

Sabang dan Temasek sesungguhnya adalah simbol dari dua strategi kolonial yang sangat berbeda. Hindia Belanda paranoid terhadap masuknya pengaruh asing ke wilayahnya. Sabang lebih difungsikan sebagai pangkalan militer dan logistik, bukan kota dagang bebas. Kapal-kapal dagang internasional yang singgah pun terbatas.

Sebaliknya, Inggris di Temasek sangat liberal. Pelabuhan dibuka bagi semua bangsa, tanpa pajak tinggi, tanpa birokrasi ketat. Singapura tumbuh sebagai melting pot berbagai bangsa. Maka tak heran jika perdagangan, modal, dan tenaga kerja asing lebih memilih Temasek ketimbang Sabang.

Ketika teknologi kapal uap berganti kapal minyak dan perdagangan global membutuhkan pelabuhan modern dengan zona industri dan keuangan, Singapura sigap berbenah. Sementara Sabang masih terjebak dalam bayang-bayang pelabuhan batu bara.


Singapura Menang, Sabang Tenggelam

Perang Dunia II menjadi titik balik. Singapura yang sempat dikuasai Jepang, segera bangkit kembali pasca perang. Dengan dukungan Inggris dan kemudian AS, Singapura tumbuh menjadi pusat keuangan, pelabuhan peti kemas, industri teknologi, dan zona perdagangan bebas terpenting di dunia.

Sementara Sabang perlahan redup. Pemerintah Indonesia yang mewarisi Sabang dari Belanda tak segera menangkap peluang geopolitik di kawasan Samudra Hindia. Pelabuhan Sabang hanya ramai di musim wisata. Infrastruktur pelabuhan modern dan kebijakan perdagangan bebas pun tidak dikembangkan secara serius.

Deklarasi Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas pada awal 2000-an tak kunjung efektif. Berbagai kendala regulasi, minimnya infrastruktur logistik, hingga ketidaktegasan kebijakan pusat menyebabkan Sabang tak mampu bersaing, bahkan dengan pelabuhan kecil di kawasan Selat Malaka.


Refleksi: Peluang Kedua Sabang

Kini, saat geopolitik Samudra Hindia kembali memanas akibat rivalitas India–Cina, Sabang seharusnya punya peluang kedua. Posisi Sabang di jalur pelayaran minyak dunia dari Teluk Persia, dekat dengan India, Sri Lanka, dan Selat Malaka, masih sangat strategis.

Namun peluang itu hanya bisa diambil jika pemerintah berani bertindak. Sabang harus ditata ulang sebagai Pelabuhan Bebas Internasional, didukung dengan pelabuhan peti kemas modern, zona industri maritim, galangan kapal, serta kawasan logistik.

Zona perdagangan bebas Sabang mesti benar-benar dibuka untuk investasi global, bukan sekadar jargon politik. Perlu keberanian mengambil keputusan, seperti yang pernah dilakukan Stamford Raffles dua abad lalu di Temasek.


Penutup: Mewarisi Jejak, Menentukan Takdir

Kisah Sabang dan Temasek adalah pelajaran penting tentang bagaimana keberanian membaca zaman menentukan masa depan sebuah kota pelabuhan. Sabang punya posisi strategis, pelabuhan alam yang ideal, dan sejarah panjang. Tapi tanpa kebijakan yang progresif, keberanian membuka diri, dan visi geopolitik maritim, semua potensi itu hanya akan tinggal cerita di peta tua jalur sutra laut.

Kini, Indonesia punya kesempatan merebut kembali peran Sabang di jalur pelayaran global. Tapi pertanyaan pentingnya, beranikah kita?

pemerhati sejarah maritim dan geopolitik Nusantara.