Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Sabang: Jejak Pelabuhan Emas yang Terlupakan

Kamis, 29 Mei 2025 | 20:40 WIB Last Updated 2025-05-29T13:40:20Z




Ketika mendengar nama Sabang, kebanyakan orang Indonesia mungkin hanya mengingatnya sebagai titik awal dari frasa ikonik “Dari Sabang sampai Merauke.” Sebatas penanda geografis ujung barat Nusantara. Padahal, Sabang lebih dari itu. Sabang pernah menjadi pelabuhan strategis dunia, yang bahkan sempat menyaingi Temasek — yang kini kita kenal sebagai Singapura.

Jejak kejayaan itu masih bisa kita temukan di antara sisa-sisa dermaga tua, benteng pertahanan kolonial, hingga riwayat kapal-kapal asing yang dulu bersandar di perairan Pulau Weh. Namun sayang, seiring waktu, nama Sabang perlahan meredup, ditelan ingar-bingar modernitas pelabuhan besar lain di Asia Tenggara.

Sabang dalam Peta Peradaban

Catatan tentang Sabang, atau yang dalam sejarah disebut sebagai Pulau Weh, sudah muncul dalam berbagai literatur pelayaran dunia. Konon, sekitar abad ke-12, pelaut legendaris dari Arab, Sinbad, berlabuh di pulau ini dalam pelayarannya dari Oman menuju Canton. Ia menamai pulau tersebut Pulau Emas, mengacu pada potensi alam dan strategisnya letak pulau ini di jalur pelayaran internasional.

Lebih jauh ke belakang, seorang ahli geografi Yunani, Ptolomacus, pada tahun 301 SM juga mencatat keberadaan pulau ini di peta pelayaran kuno. Pulau ini menjadi persinggahan penting sebelum kapal-kapal besar memasuki Selat Malaka, selat yang sejak dulu hingga kini menjadi urat nadi perdagangan maritim dunia.

Nama Sabang sendiri diyakini berasal dari kata Arab Shabag, yang berarti ‘gunung meletus’ — merujuk pada aktivitas vulkanik Pulau Weh. Dalam versi lain, Sabang diartikan dari bahasa Aceh sebagai terpisah, karena Pulau Weh memang terpisah dari daratan Aceh.

Kejayaan Sabang yang Terlupa

Puncak kejayaan Sabang tercatat pada masa kolonial Belanda. Pada 1881, pemerintah Hindia Belanda menetapkan Sabang sebagai Kolen Station atau stasiun pengisian batu bara bagi kapal-kapal asing. Saat itu, Sabang bahkan lebih ramai dan lebih penting daripada Temasek yang masih berstatus pelabuhan kecil.

Dermaga Sabang menjadi pusat aktivitas kapal dagang dari Eropa, India, Timur Tengah, dan Tiongkok. Kealamian perairan Sabang yang dalam dan terlindung menjadi nilai strategis yang tak dimiliki pelabuhan lain di kawasan ini.

Namun segalanya berubah pasca pembukaan Terusan Suez pada 1869. Jalur pelayaran dunia memang menjadi lebih pendek melalui Selat Malaka, tapi Belanda justru lebih fokus mengembangkan Batavia dan pelabuhan di Jawa, serta memberi ruang bagi Temasek yang saat itu mulai ditata Inggris.

Perang Dunia II, pendudukan Jepang, hingga kemerdekaan Indonesia semakin meredupkan peran Sabang sebagai pelabuhan internasional. Kini, sisa-sisa kejayaan itu tinggal jejak sejarah, menunggu dihidupkan kembali.

Sabang vs Temasek: Pelajaran Geopolitik

Kisah Sabang dan Temasek adalah pelajaran tentang pentingnya konsistensi strategi geopolitik maritim. Singapura (dulu Temasek) bisa menjadi salah satu pelabuhan tersibuk di dunia bukan semata karena letaknya yang strategis, tapi karena konsistensi pemerintahnya dalam membangun, memelihara, dan mengembangkan kawasan pelabuhan sebagai pusat logistik dan perdagangan global.

Sementara itu, Sabang — meski dianugerahi letak geografis yang tak kalah strategis — seringkali terabaikan dalam perencanaan nasional. Program Sabang Free Port and Free Trade Zone yang digagas sejak era Reformasi, misalnya, berjalan terseok tanpa visi jangka panjang yang jelas. Padahal di era geopolitik Samudra Hindia yang kembali bergeliat, Sabang bisa menjadi pintu masuk penting Indonesia.

Peluang Sabang di Era Baru

Kini, ketika Samudra Hindia menjadi perhatian negara-negara besar seperti India, China, dan Amerika Serikat, Sabang kembali diperhitungkan. Indonesia dan India bahkan pernah merintis kerja sama pengembangan pelabuhan Sabang sebagai titik strategis di jalur pelayaran internasional.

Namun tanpa keseriusan dan keberlanjutan, potensi ini akan kembali menjadi wacana kosong. Sabang memerlukan investasi infrastruktur, diplomasi maritim, serta pengelolaan kawasan berbasis ekonomi biru yang ramah lingkungan.

Sabang bukan sekadar destinasi wisata bahari. Ia adalah titik penting dalam geopolitik Nusantara, dalam lalu lintas ekonomi global, dalam upaya Indonesia untuk memperkuat poros maritim dunia.

Akhir Kata

Sudah saatnya kita berhenti melihat Sabang hanya sebagai titik awal dalam peta Indonesia. Sabang adalah halaman pertama dalam kitab maritim Nusantara. Ia bagian dari identitas kebangsaan kita sebagai negeri pelaut. Menyelamatkan jejak sejarah Sabang, menghidupkan kembali pelabuhannya, berarti menjaga marwah bangsa di antara pusaran geopolitik dunia.

Karena bila Sabang terus terabaikan, maka sejarah akan mencatat, kita pernah memiliki mutiara di ujung barat negeri, namun tak pernah benar-benar merawatnya.