Di balik hutan rimba, sungai yang mengalir jernih, dan pegunungan yang memagari tanah Aceh, terdapat sesuatu yang jauh lebih berharga dari emas dan kekuasaan: adat dan budaya gampông. Ia bukan sekadar warisan masa lalu, tapi penentu jati diri dan arah masa depan sebuah bangsa. Aceh tanpa adat adalah tubuh tanpa ruh. Aceh tanpa budaya adalah tanah tanpa jiwa.
Namun sayang, di era modern ini, banyak gampông di Aceh mulai kehilangan arah. Tradisi yang dulu dijaga ketat, kini mulai lapuk oleh zaman. Nilai-nilai adat yang dulu jadi pedoman hidup, perlahan digeser oleh budaya instan yang datang lewat layar-layar kecil di tangan anak-anak muda. Bila ini terus dibiarkan, gampông-gampông Aceh akan menjadi kampung tanpa roh, hanya tinggal nama di peta, tanpa makna di dada.
Gampông Itu Benteng, Adat Itu Pilar
Sejak dulu, gampông di Aceh bukan sekadar unit administratif, tapi pusat kehidupan sosial, ekonomi, dan adat istiadat. Setiap persoalan diselesaikan di meunasah. Setiap musyawarah diadakan di bale gampông. Setiap peristiwa lahir, kawin, hingga meninggal diatur adat. Ada tata cara, ada adab, ada marwah.
Namun sekarang, bale gampông kosong. Meunasah sepi. Banyak anak muda lebih sibuk ngopi di kafe atau scroll TikTok daripada duduk mendengar petuah teungku. Hukum adat tak lagi digubris. Tradisi turun-temurun dianggap ketinggalan zaman. Ini bukan kemajuan, ini kemunduran yang dibungkus modernisasi.
Ta Jaga Gampông, Ta Jaga Harga Diri
Kita harus sadari, bila adat dan budaya di gampông hilang, maka Aceh akan kehilangan harga dirinya. Identitas kita bukan dibentuk dari gedung-gedung mewah di kota, tapi dari nilai-nilai yang diwariskan di gampông. Di sanalah ruh Aceh bermula.
Kita perlu kembali menghidupkan:
- Peumulia Jamee, adat memuliakan tamu.
- Meulangga Adat, musyawarah menyelesaikan masalah gampông.
- Kenduri, yang bukan sekadar makan bersama tapi mempererat silaturrahmi.
- Syair dan Hikayat, sebagai alat pendidikan moral.
Budaya lokal bukan berarti anti-kemajuan. Kita tetap bisa hidup modern tanpa harus mencabut akar adat. Adat adalah kompas moral, sedangkan teknologi adalah alat. Yang berbahaya ketika alat menggantikan kompas.
Peran Pemuda Gampông
Pemuda jangan cuma diam. Jangan hanya jadi penonton gampông yang kehilangan marwahnya. Kita harus jadi pelanjut adat, bukan pewaris kemalasan.
Ta buat komunitas adat gampông. Ta dokumentasikan tradisi-tradisi lokal. Ta ajak anak-anak muda belajar kembali adat perkawinan, peusijuk, peumulia jamee. Ta manfaatkan media sosial untuk memperkenalkan budaya Aceh, bukan hanya konten joget tanpa makna.
Pemerintah Jangan Tutup Mata
Pemerintah gampông, kecamatan, hingga kabupaten/kota harus peduli. Jangan hanya sibuk proyek dan laporan APBG. Adat dan budaya gampông perlu dihidupkan melalui:
- Festival adat tiap tahun.
- Pelatihan adat untuk pemuda.
- Menghidupkan kembali bale gampông sebagai ruang diskusi adat.
- Mendokumentasikan sejarah dan tradisi gampông.
Bila ini dilakukan, Aceh tak hanya dikenal dengan syariatnya, tapi juga adatnya yang luhur.
Penutup
Ta jaga gampông, ta jaga adat, ta jaga Aceh. Jangan biarkan adat hanya jadi cerita di buku sejarah. Jangan biarkan budaya gampông hilang ditelan zaman. Karena saat adat runtuh, budaya punah, Aceh tak ubahnya sekumpulan kampung tanpa arah.
Bek gadoh adat dan budaya hanya demi gengsi modernisasi. Modern boleh, tapi akar harus tetap terjaga.
Karena di sanalah harga diri Aceh berdiri.
Azhari
Pemerhati Sosial Budaya Aceh