Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Teungku Ahmad Dewi — Jejak Ulama Pejuang Syariat yang Hilang dalam Ingatan Generasi Aceh

Sabtu, 31 Mei 2025 | 23:07 WIB Last Updated 2025-05-31T16:07:08Z



Di setiap zaman, selalu lahir pejuang yang memilih jalan sunyi. Mereka tak sekadar meninggalkan nama, tetapi warisan nilai yang seharusnya diwarisi generasi. Aceh sebagai negeri ulama, pernah dihiasi sosok-sosok besar yang hidup untuk dakwah dan syariat Islam, salah satunya Teungku Ahmad Dewi, seorang ulama muda kharismatik yang namanya seakan ditelan kabut sejarah.

Nama Teungku Ahmad Dewi memang tak sepopuler nama-nama pejuang di buku pelajaran. Ia tak masuk dalam deretan pahlawan nasional. Namun, kisah hidupnya adalah bukti bahwa perjuangan untuk Islam di Aceh tak pernah mudah. Terkadang dihadapkan bukan hanya dengan kekuasaan kolonial, tetapi juga intrik politik dan kerasnya zaman.

Pejuang Dakwah di Tengah Badai

Lahir dari keluarga ulama di Idi Cut, Aceh Timur, Teungku Ahmad Dewi mewarisi darah pejuang dari kakeknya, Teungku Hasbullah Meunasah Kumbang, seorang orator ulung dan ulama pejuang zaman penjajahan. Sejak muda, Ahmad Dewi hidup berpindah dari dayah ke dayah demi mencari ilmu. Tak seperti anak muda lain, ia memilih berdagang obat kaki lima sembari berdakwah. Sebuah metode klasik yang dulu diterapkan pedagang Arab saat menyebarkan Islam di Nusantara.

Karena kemampuannya berdakwah dan kharisma alami, Teungku Ahmad Dewi dengan cepat dikenal. Di usia muda, ia sudah diminta berceramah di berbagai kampung. Bahkan Abon Samalanga, ulama karismatik Aceh, terpikat oleh kepiawaiannya dan mengajaknya menimba ilmu di Mudi Masjid Raya Samalanga. Di sinilah Teungku Ahmad Dewi mengasah kemampuan retorikanya, memimpin pengajian, hingga dakwahnya meluas ke berbagai daerah.

Namun, popularitasnya tak membuat jalan dakwahnya mulus. Era 1970-an adalah masa genting Aceh. Isu pemberontakan dan penegakan syariat berkecamuk. Pada 1977, ia ditangkap karena dianggap berhubungan dengan kelompok perlawanan. Tempat tahanannya dipindah-pindahkan. Bahkan rakyat Aceh tak tahu di mana keberadaannya.

Dari Balai Tahanan Militer ke Balai Tempat Menuntut

Tak gentar meski dalam tahanan, Teungku Ahmad Dewi tetap berdakwah. Ia menyulap rumah tahanannya menjadi dayah darurat yang dikenal dengan nama BTM (Balai Tahanan Militer). Menariknya, santri dan rakyat Aceh justru menyebutnya Balai Tempat Menuntut ilmu.

Dari santri sedikit, bertambah jadi puluhan, hingga ratusan. Ia bahkan membentuk Barisan Teuntra Mirah, pasukan muda pembersih maksiat di Idi Cut. Keberanian ini membuat aparat repot. Meski kerap berhadapan dengan aparat, kecerdasan oratornya kerap menyelamatkan situasi dengan dialog dan musyawarah.

Namun, riwayatnya berhenti di tahun 1991. Saat pergi menjenguk saudaranya di Desa Alue Ie Mirah, Teungku Ahmad Dewi menghilang tanpa jejak. Sampai hari ini, tak ada yang tahu pasti nasibnya. Makamnya tak pernah ditemukan. Sejak itu, namanya perlahan tenggelam, meskipun dakwah dan semangat perjuangannya masih hidup di hati sebagian santri dan masyarakat yang pernah menyaksikan kehadirannya.

Refleksi dan Ironi Sejarah Aceh

Kisah Teungku Ahmad Dewi adalah ironi dari sejarah Aceh. Negeri yang dikenal Islami ini, justru sering abai mencatat jejak perjuangan ulama-ulamanya sendiri. Saat syariat Islam mulai diberlakukan di Aceh awal 2000-an, pejuang syariat seperti Ahmad Dewi tak pernah disebut. Seolah negeri ini lupa kepada darah dan air mata yang menetes sebelum syariat itu resmi diangkat jadi kebijakan negara.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa Aceh belum selesai dengan narasi sejarahnya sendiri. Kita sering terjebak pada nama-nama besar yang diorbitkan politik atau dipilih negara, sementara pejuang sunyi seperti Teungku Ahmad Dewi terhapus dari ingatan kolektif.

Generasi muda Aceh hari ini harus tahu, bahwa jalan dakwah dan perjuangan syariat di Aceh tak lahir tiba-tiba. Ada darah, luka, penangkapan, bahkan penghilangan nyawa di baliknya. Itulah sebabnya, pemerintah daerah dan lembaga sejarah Aceh mesti memprioritaskan pendataan ulang jejak para ulama pejuang, termasuk menulis ulang sejarah lokal yang selama ini diabaikan.

Menyalakan Cahaya Sejarah

Kita tak butuh menunggu pengakuan pusat. Aceh cukup dengan kejujuran sejarahnya sendiri. Menghidupkan kembali kisah ulama-ulama pejuang, mengabadikannya di museum daerah, menjadikannya kurikulum muatan lokal di sekolah, dan menulis biografi mereka agar generasi muda tidak kehilangan akar.

Teungku Ahmad Dewi adalah salah satu simbol. Namanya boleh hilang, jejaknya mungkin lenyap, tetapi semangatnya masih bisa ditanamkan. Aceh tidak boleh abai pada pejuang agamanya. Karena bangsa yang kuat adalah bangsa yang menghargai sejarahnya, sekecil apa pun itu.


Azhari 
Pemerhati Sejarah Aceh