:
Warisan adalah titipan harta dan nilai kehidupan dari orang tua untuk anak-anaknya. Bukan sekadar materi berupa tanah, rumah, sawah, atau uang, melainkan juga warisan nilai, nasihat, dan kearifan hidup. Sayangnya, di banyak tempat termasuk Aceh, warisan sering kali justru menjadi sumber perpecahan antar saudara, memutus silaturahmi, bahkan memicu permusuhan bertahun-tahun.
Padahal, sejatinya warisan itu diwariskan bukan untuk memecah belah darah daging sendiri, tetapi untuk menjadi bekal kehidupan dan penguat tali keluarga.
Warisan Bukan Sekadar Materi
Orang tua kita tidak hanya meninggalkan sawah, rumah, atau kebun. Mereka meninggalkan nilai, doa, dan pesan-pesan hidup. Banyak yang lupa bahwa warisan paling berharga adalah kasih sayang antar saudara yang mereka bangun sejak kecil.
Sebuah pepatah Aceh mengatakan:
"Darah hana jeut dipisah. Saban ta but dua hana jadi saboh."
(Darah tidak bisa dipisahkan. Meskipun dipotong dua, tidak akan jadi satu.)
Artinya, sekeras apapun perselisihan, setajam apapun konflik, darah keluarga tetap mengalir. Harta bisa dibagi, tapi hubungan saudara tak bisa diganti.
Mengapa Warisan Sering Menjadi Api Perpecahan?
Ada beberapa sebab mengapa warisan memecah belah:
- Ketamakan — Saat harta dianggap segalanya, lupa bahwa tanah itu dulu diwariskan dengan air mata dan keringat orang tua.
- Rasa Tidak Adil — Pembagian yang tak jelas atau hanya menguntungkan satu pihak memicu kecemburuan.
- Ego dan Dendam Lama — Kadang bukan soal harta, tapi luka hati masa lalu yang meledak saat pembagian warisan.
- Tidak Ada Wasiat Tertulis — Banyak orang tua yang enggan membuat wasiat resmi, sehingga anak-anak saling klaim tanpa dasar yang kuat.
Warisan Seharusnya Jadi Cahaya Kehidupan
Warisan orang tua seharusnya mempererat saudara. Tanah bisa menjadi ladang berkah jika dikelola bersama. Rumah bisa menjadi tempat berkumpul, bukan diperebutkan. Harta bisa menjadi sedekah atas nama orang tua, bukan alasan permusuhan.
Islam mengatur hukum waris bukan untuk mengadu anak-anak, tapi untuk keadilan. Al-Qur'an bahkan mengatur rinci bagian tiap ahli waris agar tak ada yang dirugikan. Tapi adat dan hati yang lapang tetap diperlukan agar pembagian berjalan damai.
Seorang ulama Aceh pernah berpesan:
"Lam do nyang hana tetap, lam darah nyang hana ganti. Mate nyan mate, harta nyan tinggal, darah tanyo nyang keuh kekal."
(Di dunia ini tak ada yang abadi, dalam darah tak ada pengganti. Mati itu pasti, harta itu tinggal, darah kita yang kekal.)
Apa yang Harus Kita Lakukan?
- Tegakkan Silaturahmi Setelah Warisan Dibagi — Jangan putus hubungan hanya karena sepetak tanah.
- Selalu Minta Nasihat Ulama atau Orang Tua Tua — Saat ada selisih paham, jangan langsung emosi.
- Fokus pada Warisan Nilai, Bukan Sekadar Harta — Kenang pesan orang tua, bukan hanya sawahnya.
- Biasakan Membuat Wasiat Jelas Sejak Hidup — Agar anak-anak tidak saling tuding.
Penutup: Jadikan Warisan Sebagai Doa
Ingatlah, orang tua meninggalkan harta untuk menambah keberkahan anak-anaknya, bukan untuk menjadi laknat. Jangan sampai sawah peninggalan ayah ibu lebih tinggi nilainya daripada darah persaudaraan. Karena suatu hari, saat kita pun dipanggil Allah, yang tersisa bukan berapa hektar tanah, tapi seberapa erat hubungan keluarga yang kita tinggalkan.
Mari jadikan warisan sebagai sumber kebaikan, sedekah, dan pengikat tali kasih. Sebab, tanah bisa habis, uang bisa ludes, tapi doa dari saudara tak akan pernah kering.
Azhari
Pemerhati Sosial Budaya Aceh