Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Aceh: Bangsa Terkuat yang Pernah Jadi Bagian dari Negara Adidaya

Minggu, 15 Juni 2025 | 13:01 WIB Last Updated 2025-06-15T06:01:58Z




Oleh: Azhari 

Sejarah adalah cermin panjang yang sering kali dilupakan oleh bangsanya sendiri. Di sudut barat Nusantara, ada sebuah bangsa yang dalam rentang abad ke-16 hingga ke-19 pernah berdiri tegak sebagai bangsa terkuat di Asia Tenggara. Aceh bukan hanya sebuah wilayah kecil di ujung Sumatra; ia adalah sebuah bangsa, sebuah kekuatan maritim dan militer yang diakui dunia, bahkan pernah menjadi bagian dari orbit negara adidaya Islam terbesar saat itu: Kekaisaran Turki Utsmani.

Aceh: Bangsa Perlawanan dan Peradaban

Sejarah mencatat bahwa Kesultanan Aceh Darussalam bukan sekadar kerajaan lokal, melainkan sebuah negara berdaulat dengan angkatan perang laut terbesar di Asia Tenggara. Kapal-kapal perang Aceh, meriam raksasa peninggalan Turki, Persia, dan Gujarat, serta benteng-benteng pertahanan yang mengelilingi Banda Aceh, menjadi saksi betapa bangsa Aceh pernah menjadi kekuatan yang diperhitungkan dalam peta geopolitik abad pertengahan.

Ketika Portugis menaklukkan Malaka pada 1511, Aceh adalah satu-satunya bangsa di Nusantara yang berani menantang kekuatan Eropa itu secara langsung. Di bawah kepemimpinan Sultan Alauddin Ri'ayat Syah al-Kahhar dan Sultan Iskandar Muda, Aceh tidak hanya bertahan, tapi menyerang balik, mengirim ekspedisi ke semenanjung Malaya, bahkan hingga ke Kepulauan Andaman.

Aceh dalam Orbit Turki Utsmani: Aliansi Negara Adidaya

Puncak kejayaan Aceh adalah saat bangsa ini menjalin hubungan diplomatik dan militer dengan Kekaisaran Turki Utsmani. Tahun 1566, Sultan Aceh mengirim utusan ke Istanbul, meminta bantuan militer melawan Portugis di Selat Malaka. Sultan Turki saat itu, Sultan Selim II, menjawab dengan mengirimkan meriam, kapal perang, instruktur militer, dan teknisi senjata. Hubungan ini bukan sekadar simbolik. Dalam banyak catatan Ottoman dan Portugis, Aceh disebut sebagai anak angkat Utsmani, bagian dari Dâr al-Islâm, wilayah kekuasaan Islam internasional di bawah bayang-bayang Istanbul.

Aceh pun diizinkan memakai panji Turki Utsmani dalam pertempuran, dan meriam peninggalan Turki masih bisa ditemukan di Banda Aceh hingga hari ini — salah satunya Si Gantar Alam, meriam raksasa yang menjadi bukti kuat ikatan militer Aceh-Turki.

Aceh: Bangsa yang Tak Terkalahkan oleh Kolonialisme

Dalam sejarah kolonialisme Asia Tenggara, hanya sedikit bangsa yang mampu bertahan melawan invasi Eropa selama lebih dari tiga abad. Aceh adalah pengecualian. Sejak pertama kali Belanda mendarat di Nusantara hingga proklamasi Indonesia, Aceh tak pernah benar-benar tunduk.

Perang Aceh (1873–1942) adalah perang kolonial terpanjang yang pernah dihadapi Belanda di seluruh dunia. Selama hampir 70 tahun, Belanda mengerahkan puluhan jenderal, ratusan ribu tentara, dan menguras anggaran kolonial hanya untuk menundukkan sebuah bangsa kecil di ujung Sumatra itu. Bahkan, sampai masa kemerdekaan Indonesia, Aceh tetap menyimpan api perlawanan dan harga diri bangsa.

Lupa Jati Diri, Hilang Kekuatan

Sayangnya, bangsa yang pernah menjadi bagian dari orbit negara adidaya kini mulai kehilangan arah sejarahnya sendiri. Banyak generasi Aceh hari ini yang tak lagi tahu siapa Sultan Iskandar Muda, siapa Laksamana Malahayati — panglima perang perempuan pertama di dunia — atau siapa Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman yang memimpin jihad melawan Belanda.

Aceh hari ini lebih sibuk berdebat soal politik praktis, soal jabatan dan anggaran otsus, ketimbang soal kejayaan peradaban dan martabat bangsanya. Padahal, bangsa tanpa ingatan sejarah adalah bangsa yang berjalan tanpa arah. Aceh dulu adalah bangsa pelaut, bangsa ulama, bangsa pemanah, dan bangsa pembela tanah air.

Aceh Bisa Bangkit Kembali

Tak ada bangsa yang ditakdirkan untuk selamanya lemah. Sejarah Aceh membuktikan bahwa bangsa ini memiliki DNA pejuang dan DNA peradaban. Kunci kebangkitan Aceh bukanlah pada siapa bupati, gubernur, atau partai penguasa, melainkan pada sejauh mana masyarakat Aceh mau kembali memeluk sejarahnya, menjadikannya inspirasi, lalu membangun masa depan di atas fondasi peradaban itu.

Aceh tak perlu mengekor pada pola kekuasaan Jakarta, atau sekadar berlomba soal anggaran otsus. Yang perlu dibangun adalah kemandirian ekonomi, pendidikan bermutu, pemurnian akidah, penguatan adat, dan menghidupkan kembali semangat perlawanan intelektual.

Maka Dulu, Aceh adalah bangsa kuat karena bersandar pada kekuatan agama, militer, diplomasi, dan ilmu pengetahuan. Aceh pernah menjadi bagian dari kekuatan adidaya dunia. Kini, saatnya Aceh tidak hanya menjadi bagian dari Indonesia, tetapi bagian penting yang menyumbangkan peradaban, kebijakan strategis, dan keteladanan bagi bangsa ini.

Aceh harus bangkit sebagai bangsa kuat, bukan sekadar daerah administratif. Sebab, di dalam darah orang Aceh, mengalir darah sultan, darah syuhada, darah ulama, dan darah pejuang. Tinggal bagaimana generasi hari ini memilih: menjadi penerus peradaban atau pengemis sejarah.