Sejarah selalu menyimpan luka, dan Aceh tahu persis bagaimana rasanya dikhianati oleh saudara sendiri. Dulu, saat republik ini masih gamang berdiri, Aceh adalah negeri pertama yang memberi dukungan penuh. Aceh menyumbangkan emasnya, menggerakkan rakyatnya, dan mengorbankan darahnya untuk kemerdekaan Indonesia. Tapi setelah bendera Merah Putih berkibar, janji-janji kepada Aceh diabaikan, hak-hak Aceh dirampas, dan martabatnya diinjak oleh kekuasaan pusat.
Aceh pernah dijanjikan status istimewa, otonomi luas, dan penghormatan terhadap syariat Islamnya. Tapi faktanya, sejak awal republik berdiri hingga hari ini, Aceh terus diperlakukan sebagai anak tiri. Kekayaan alamnya diambil, sumber daya manusianya diabaikan, dan sejarahnya diputarbalikkan. Bahkan dalam banyak kesempatan, elite Jakarta bicara tentang Aceh seakan-akan negeri ini hanyalah tanah taklukan yang boleh diatur sesuka hati.
Dikhianati Berkali-kali
Sejarah mencatat, berkali-kali Aceh mencoba bicara baik-baik. Dari diplomasi politik, perlawanan senjata, hingga perjanjian damai, semuanya berujung pada satu hal: pengkhianatan. MoU Helsinki 2005 yang digembar-gemborkan sebagai solusi abadi, nyatanya tinggal simbol di atas kertas. Janji-janji otonomi, pengelolaan kekayaan alam, hingga perlindungan martabat adat dan syariat Islam terus dilanggar.
Elite pusat terus bermain api dengan Aceh. Dana otsus dijadikan alat kendali politik, sementara jabatan di Aceh diperlakukan sebagai komoditas transaksional. Rakyat hanya jadi penonton di negerinya sendiri. Janji pembangunan, kesejahteraan, dan keadilan sosial, tak lebih dari retorika politik lima tahunan.
Aceh di Ambang Kebangkitan
Namun sejarah juga mengajarkan, Aceh bukan bangsa yang mudah tunduk. Semakin ditekan, Aceh semakin kuat. Semakin dihina, Aceh semakin bangkit. Hari ini, kesadaran itu mulai menyala kembali. Rakyat Aceh mulai bicara tentang harga diri, tentang marwah yang harus ditegakkan kembali.
Suara-suara kemerdekaan bukan lagi tabu. Di warung kopi, di dayah, di kampus, bahkan di pasar-pasar, orang mulai kembali bertanya: Apa gunanya terus bersama, jika hanya dijadikan objek permainan? Apa gunanya jadi bagian dari republik, jika harga diri diinjak setiap hari?
Merdeka bukan lagi isapan jempol. Bukan juga sekadar wacana emosional. Jika pusat terus bermain curang, jika janji-janji damai terus dilanggar, maka kemerdekaan adalah pilihan yang masuk akal. Bukan karena benci Indonesia, tapi karena ingin menyelamatkan Aceh dari kehancuran yang diatur dari Jakarta.
Penutup: Jalan Terhormat Bangsa Aceh
Aceh pernah merdeka sebelum Indonesia lahir. Aceh berdiri sebagai bangsa berdaulat selama ratusan tahun, dengan hukum, pemerintahan, mata uang, dan diplomasi internasional. Jika hari ini bangsa Aceh kembali bicara soal kemerdekaan, itu bukan makar. Itu adalah hak asasi. Hak bangsa manapun yang diinjak martabatnya, dirampas haknya, dan dikhianati berkali-kali.
Selama pusat masih punya niat baik, Aceh akan tetap di barisan Nusantara. Tapi jika pusat terus mempermainkan perjanjian, merampas hak, dan melecehkan martabat Aceh, maka jangan salahkan rakyat Aceh jika suatu hari bendera kebesaran negeri ini kembali berkibar di tiang tertinggi, di depan mata dunia.
Karena bagi Aceh, harga diri di atas segalanya.
Aceh, dikhianati pusat, merdeka di depan mata.