Oleh: Azhari
Aceh pernah menjadi tanah kebanggaan. Serambi Mekkah, pusat perlawanan terhadap penjajah, wilayah yang darahnya tumpah demi harga diri dan marwah bangsa. Dari pegunungan Aceh Besar, belantara Pidie, hingga pesisir Aceh Selatan, nyawa dan harta rakyat dipertaruhkan demi satu kata: keadilan.
Tapi kemudian waktu bergulir. Dentuman senjata digantikan suara damai, perjanjian Helsinki ditandatangani, dan babak baru dimulai. Orang-orang berharap, damai bukan sekadar berhenti berperang, tapi juga mulai menata keadilan. Sayangnya, hari ini Aceh justru terjebak dalam pusaran kemunafikan baru.
Aceh Dulu: Luka, Perlawanan, dan Harapan
Dulu, Aceh melawan karena ketidakadilan. Rakyat miskin dieksploitasi, hasil bumi dibawa keluar tanpa izin, dan pemerintah pusat berlaku semena-mena. Di tengah penderitaan itu, rakyat Aceh tak sekadar mengeluh — mereka bertempur. Dalam hutan, di kampung, di pos-pos rahasia, demi anak cucu tak hidup di bawah penindasan.
Perjuangan itu lahir dari hati, bukan karena proyek atau jabatan. Rakyat percaya, suatu saat, Aceh akan punya hak menentukan nasib sendiri, mengatur kekayaan, dan memberi ruang keadilan bagi setiap anak negeri.
Aceh Kini: Damai yang Membingungkan, Keadilan yang Mengambang
Hari ini, Aceh memang tak lagi terdengar tembakan. Tapi di balik senyap itu, ada kesenjangan yang makin dalam. Dana otsus triliunan, tapi kemiskinan tertinggi di Sumatera. Gedung mewah, tapi jalan rusak. Anak sekolah tanpa sepatu, sementara elite politik berleha-leha di ruang ber-AC.
Jabatan diperjualbelikan. Proyek diperebutkan. Birokrasi dipolitisasi. Mereka yang dulu berjuang kini sebagian dipinggirkan, hanya dimunculkan saat kampanye, lalu dilupakan saat jabatan dibagi.
Rakyat bertanya, ke mana arah keadilan yang dulu diperjuangkan? Apakah damai hanya untuk elite? Apakah keadilan hanya berlaku bagi pejabat?
Ke Mana Arah Keadilan?
Seharusnya, damai bukan sekadar berhenti perang. Damai adalah saat hak korban dihargai, anak-anak yatim konflik mendapatkan perlindungan, petani kecil tak dipaksa menjual tanahnya, dan rakyat kecil bisa sekolah tanpa pungli.
Aceh seharusnya berjalan ke arah keadilan substantif. Ke mana pun investasi masuk, selagi rakyat miskin masih lapar dan desa terpencil tak teraliri listrik, maka damai itu hanya ilusi.
Politik di Aceh harus kembali ke rakyat, bukan untuk segelintir kelompok. Jangan biarkan sejarah perlawanan Aceh dihancurkan oleh elite yang lupa asal-usulnya.
Refleksi Kita Hari Ini
Aceh dulu pernah berdarah karena ketidakadilan. Jangan sampai Aceh hari ini berdarah oleh pengkhianatan dan kerakusan anak bangsa sendiri. Rakyat harus berani bertanya:
- Siapa yang memperjuangkan rakyat saat ini?
- Di mana pengadilan HAM Aceh yang dulu dijanjikan?
- Ke mana dana konflik dan dana kompensasi korban?
- Siapa yang berdiri membela rakyat miskin saat tambang-tambang rakus merampas tanah adat?
Kalau pertanyaan-pertanyaan itu dibiarkan tanpa jawaban, maka damai ini hanya sekadar kesepakatan elite.
Aceh Butuh Keberanian Baru
Aceh butuh generasi pemberani. Yang tidak sibuk menjilat kekuasaan. Yang berani bicara soal keadilan, walau kursi jabatan jadi taruhannya. Aceh butuh rakyat yang tidak mudah dibungkam oleh sembako politik.
Karena tanpa keadilan, damai hanyalah basa-basi. Dan tanpa rakyat, Aceh hanyalah nama di peta, tanpa makna di dada.