Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Dari Senjata ke Kertas Suara

Jumat, 06 Juni 2025 | 02:21 WIB Last Updated 2025-06-05T19:21:34Z

Opini: Perjuangan untuk Partai Politik, atau Politik untuk Kemerdekaan Aceh?



Oleh: Azhari 

Pasca damai 2005, Aceh memasuki babak baru. Peluang politik terbuka lebar, partai lokal lahir, dan anak-anak bekas pejuang angkat bendera politik masing-masing. Tapi di sinilah masalah bermula. Yang dulunya berjuang satu barisan di hutan-hutan kini pecah dalam warna partai. Perjuangan demi rakyat perlahan bergeser jadi perebutan kursi dan proyek.

Pertanyaannya:
Apakah politik hari ini benar-benar untuk kemerdekaan Aceh, atau sekadar untuk kejayaan partai politik?


Dari Senjata ke Kertas Suara

Dulu, perlawanan di Aceh bukan soal partai. Ia soal harga diri, soal hak menentukan nasib sendiri, soal kemerdekaan ekonomi, sosial, budaya, dan politik bagi rakyat Aceh. Di hutan-hutan perlawanan, tak ada bendera partai. Yang ada cuma bendera merah-putih bulan bintang dan sumpah untuk tidak tunduk pada ketidakadilan.

Tapi hari ini, Aceh justru dipenuhi perang bendera partai. Para eks pejuang pecah kongsi. Anak-anak rakyat yang dulu bersaudara kini bermusuhan demi suara pemilu. Dari mimbar ke mimbar, janji ditebar. Tapi di kursi kekuasaan, rakyat dilupakan.


Perjuangan untuk Partai, atau Politik untuk Rakyat?

Politik Aceh hari ini terjebak di persimpangan. Banyak yang hanya menjadikan politik sebagai alat pribadi atau kelompok. Partai politik lokal seharusnya menjadi wadah memperjuangkan amanat damai dan cita-cita perjuangan Aceh. Tapi realitanya, banyak partai malah jadi alat bagi elite politik untuk menguasai anggaran dan proyek.

Apakah rakyat Aceh bisa hidup sejahtera hanya dengan janji kampanye?
Apakah keadilan akan hadir hanya dengan pengalihan jabatan antar kelompok elite?

Kalau politik cuma dipakai untuk kepentingan partai, maka damai ini akan sia-sia. Rakyat yang dulu berkorban akan kembali jadi korban. Aceh tak butuh politik yang hanya memikirkan pileg dan pilkada. Aceh butuh politik yang memperjuangkan hak-hak rakyat miskin, petani, nelayan, korban konflik, dan generasi muda.


Kemerdekaan Aceh yang Terlupakan

Kemerdekaan yang dulu diperjuangkan bukan sekadar soal bendera. Tapi soal harga diri rakyat di kampung-kampung. Soal tanah adat yang tak boleh dikuasai perusahaan. Soal anak-anak miskin yang harus sekolah tanpa pungutan. Soal hak bicara rakyat yang tak boleh dibungkam.

Ironisnya, setelah damai, suara rakyat Aceh justru makin sunyi. Yang terdengar hanya suara elite politik yang sibuk berunding bagi-bagi jabatan dan proyek. Amanat damai Helsinki tentang pengadilan HAM dan KKR pun tak kunjung ditegakkan. Lalu, sebenarnya perjuangan kemarin itu untuk siapa?


Penutup: Saatnya Kembali ke Rakyat

Politik Aceh harus kembali ke akar. Bukan untuk partai, bukan untuk elite, tapi untuk rakyat. Kalau tidak, Aceh akan terus berjalan dalam lingkaran konflik baru: konflik elite, konflik anggaran, konflik jabatan.

Damai yang sejati adalah saat rakyat merasa dilibatkan, didengar, dan diperlakukan adil. Bukan saat bendera partai berkibar, tapi rakyat lapar. Bukan saat kursi DPR penuh, tapi suara rakyat kosong.

Aceh dulu berjuang untuk harga diri. Jangan biarkan hari ini harga diri itu diperdagangkan lewat partai dan politik dagang sapi.

Aceh butuh pemimpin pejuang, bukan pejuang proyek.