Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Generasi Aceh, Jangan Menjadi Bangsa Pelupa

Senin, 09 Juni 2025 | 14:46 WIB Last Updated 2025-06-09T07:49:13Z



GAM, Pergerakanmu Ku Ingat, Jasamu Ku Lupakan

Refleksi untuk Generasi Muda Aceh


Sejarah sering kali berjalan dengan cara yang tak adil. Ia bisa mengabadikan nama-nama besar di prasasti dan buku pelajaran, namun bisa juga mengubur jasa-jasa kecil di balik derap langkah zaman. Aceh adalah contohnya. Daerah yang pernah berdarah-darah demi sebuah harga diri dan kehormatan, kini sibuk mengejar angan-angan damai tanpa benar-benar menyentuh luka sejarahnya.

Di antara kisah itu, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menjadi salah satu episode paling penting dalam sejarah modern Aceh. Pergerakan bersenjata yang lahir dari ketidakadilan ekonomi, politik, dan harga diri yang diinjak-injak selama puluhan tahun. Tapi ironisnya, setelah damai diteken di Helsinki, nama dan jasanya perlahan mulai terlupakan — apalagi oleh generasi baru Aceh yang lahir tanpa pernah mendengar dentuman senjata.

Saya menulis opini ini bukan untuk memuja, bukan pula untuk membenarkan kekeliruan, tapi sebagai pengingat. Agar generasi muda Aceh tidak menjadi bangsa pelupa, yang hanya sibuk memuja simbol, tanpa mengerti isi perjuangan di baliknya.


Sejarah Tak Pernah Berdiri di Ruang Kosong

GAM bukan organisasi kriminal seperti yang dulu kerap didakwahkan propaganda media nasional. Ia lahir dari luka sejarah. Ketika hasil bumi Aceh disedot ke pusat, rakyat tetap miskin, jalan-jalan berlubang, dan Aceh hanya mendapat ampas kekayaan sendiri. Ketika diplomasi gagal, perlawanan bersenjata menjadi pilihan pahit yang tak terelakkan.

Hasan Tiro, pendiri GAM, bukan sosok yang lahir dari ambisi kekuasaan. Ia seorang intelektual diaspora Aceh yang kecewa melihat bangsanya diinjak. Di bawah benderanya, ribuan pemuda Aceh masuk hutan, meninggalkan keluarga, kampung halaman, dan masa depan demi sebuah harga diri yang diyakini layak diperjuangkan.

Namun, sejarah perlawanan itu bukan tanpa cacat. Konflik panjang memakan korban sipil, pelanggaran HAM di berbagai sisi, hingga luka sosial yang masih terasa sampai hari ini. Tapi, siapa pun tak bisa membantah, tanpa perlawanan itu, Aceh mungkin tak akan pernah punya otonomi khusus, bendera, lambang daerah, dan keistimewaan hukum seperti hari ini.


Damai yang Tak Selalu Adil

MoU Helsinki tahun 2005 adalah fase baru bagi Aceh. Perang berhenti, senjata dilucuti, dan eks kombatan dijanjikan integrasi sosial dan politik. Kursi-kursi kekuasaan dibagikan, partai lokal dibentuk, dan dana otonomi khusus mengalir miliaran rupiah setiap tahun.

Namun, realitas hari ini sungguh membuat hati getir. Banyak eks pejuang yang dulu gagah di hutan kini terjebak di politik pragmatis. Ada yang jadi kontraktor, berebut proyek APBK, dan lupa bahwa dulu mereka turun ke hutan bukan untuk kekuasaan, tapi demi keadilan rakyat kecil.

Generasi muda Aceh mulai melihat gejala ini. Lahir sindiran: "Dulu berjuang demi rakyat, sekarang berebut proyek." Narasi yang mungkin kejam, tapi bisa jadi cermin agar para mantan pejuang tidak kehilangan arah. Bahwa perlawanan sejatinya tidak boleh selesai ketika senjata diletakkan, tapi justru baru dimulai ketika damai datang.


Jasa yang Dilupakan, Sejarah yang Dipoles

Banyak anak muda Aceh hari ini mengenal nama Hasan Tiro hanya sebagai nama jalan atau gedung. Mereka tak tahu siapa dia, apa yang diperjuangkan, atau mengapa Aceh pernah berdarah-darah. Sebagian anak SMA bahkan lebih hafal nama-nama selebritas ibu kota daripada sejarah perlawanan bangsanya.

Ironisnya, jasa pejuang-pejuang kecil di medan tempur semakin tenggelam. Mereka yang dulu tidur di bawah pohon, makan umbi-umbian, bertaruh nyawa demi martabat Aceh, kini hidup seadanya. Beberapa kembali ke kebun, menjadi buruh kasar, tanpa pernah mendapat penghargaan layak atas pengorbanan masa lalu.

Sementara itu, kursi-kursi kekuasaan lebih banyak diisi oleh mereka yang dulu sekadar ikut pergerakan di ujung perang. Damai seakan menjadi ladang panen bagi segelintir elit, sementara ribuan pejuang sejati dibiarkan dalam senyap.


Refleksi untuk Generasi Muda Aceh

Kini, apa tugas kita — generasi pasca-damai? Kita tidak butuh perang baru, tapi butuh keberanian baru. Keberanian melawan kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan dengan cara yang lebih cerdas. Aceh tak butuh lagi dentuman senjata, tapi butuh dentuman gagasan. Butuh pemuda-pemuda pemberani, bukan yang sibuk jadi selebgram, tapi takut bersuara soal ketidakadilan.

Kita harus berani berkata, "Kami ingat pergerakanmu, kami kritik kesalahanmu, tapi kami takkan lupakan jasamu." Karena kalau semangat itu padam, Aceh tinggal nama. Tinggal nostalgia perang tanpa arah. Tinggal foto-foto perjuangan tanpa makna.

Generasi muda Aceh harus bangga bukan sekadar karena keturunan mantan GAM, tapi karena kontribusi nyata untuk masyarakat. Bukan hanya sibuk upload konten religi, tapi diam saat rakyat kecil dizalimi. Aceh tak butuh generasi yang hanya pandai bercerita tentang damai, tapi gagal menjaga marwah daerah sendiri.


Penutup: Jangan Menjadi Bangsa Pelupa

Damai yang kita nikmati hari ini adalah kemewahan mahal. Dibeli dengan darah, air mata, dan nyawa ribuan orang. Jangan biarkan sejarah itu hilang ditelan masa. Jangan biarkan anak-anak Aceh hanya mengenal perlawanan lewat film dokumenter.

Karena bangsa yang melupakan sejarahnya, pasti dikutuk mengulang kesalahan yang sama.

GAM, pergerakanmu kami ingat. Jasamu kami kenang. Tapi generasi ini, tak akan membiarkan Aceh kembali terluka karena lupa pada akar perjuangannya.


Azhari 
Penulis lepas, pemerhati sosial dan sejarah Aceh