Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Dari Damai untuk Perubahan: Aceh dalam Warna Perubahan Indonesia

Senin, 09 Juni 2025 | 14:48 WIB Last Updated 2025-06-09T07:48:53Z





Setiap bangsa punya luka, dan setiap daerah punya cerita. Aceh adalah satu babak paling pilu dalam sejarah Indonesia. Puluhan tahun konflik bersenjata, ribuan korban, dan trauma sosial yang masih mengendap di ingatan kolektif warganya. Tapi dari luka itulah lahir peluang baru — peluang untuk berubah, bukan sekadar untuk Aceh, tapi untuk Indonesia.

Hari ini, dua dekade setelah damai diteken di Helsinki, kita diingatkan bahwa damai bukanlah garis akhir. Ia adalah titik awal. Bukan hanya untuk menghentikan dentuman senjata, tapi untuk membangun peradaban. Bukan hanya untuk menciptakan pemimpin baru, tapi untuk melahirkan nilai-nilai baru. Dan di situlah peran Aceh seharusnya hadir — menjadi warna perubahan dalam peta Indonesia.


Damai: Bukan Akhir, Tapi Awal Jalan Baru

Aceh sering disebut daerah paling istimewa di Indonesia. Bukan hanya karena syariat Islam-nya, tapi karena sejarah perlawanan dan perjuangannya. Dari Teuku Umar hingga Hasan Tiro, Aceh selalu punya spirit perlawanan terhadap ketidakadilan. Tapi apa jadinya jika perlawanan itu hanya berhenti pada damai, tanpa perubahan berarti?

MoU Helsinki memang menghentikan perang, tapi belum sepenuhnya menyembuhkan luka. Masalah kemiskinan masih tinggi. Pengangguran pemuda menjadi ancaman. Dana otonomi khusus yang seharusnya menjadi mesin perubahan, justru sering terjebak dalam politik anggaran tanpa visi panjang. Ini bukti bahwa damai saja tidak cukup, tanpa arah dan keberanian moral.


Aceh, Warna Baru dalam Perubahan Indonesia

Di tengah hiruk-pikuk nasional saat ini — soal korupsi, polarisasi politik, hingga masalah sosial budaya — Aceh sebenarnya bisa mengambil peran. Bukan hanya sebagai daerah yang sibuk dengan urusan internal, tapi menjadi contoh bagaimana daerah bekas konflik bisa bangkit menjadi daerah model perubahan.

Aceh bisa menjadi laboratorium sosial:

  • Bagaimana anak-anak muda eks-kombatan bisa dididik menjadi pemimpin masa depan?
  • Bagaimana budaya lokal dan syariat bisa beriringan dengan modernitas tanpa kehilangan akar?
  • Bagaimana tradisi gotong royong di kampung bisa diperkuat sebagai lawan budaya individualistik yang melanda kota-kota besar?

Aceh punya potensi itu. Tapi butuh keberanian elite dan generasi mudanya untuk bicara ke Indonesia. Bukan sekadar jadi penonton, tapi pemain. Aceh harus berani menyumbang gagasan, mengirim kader-kadernya ke level nasional, bukan cuma urus proyek APBK.


Dari Luka Jadi Pelajaran, Dari Damai Jadi Harapan

Indonesia saat ini butuh warna-warna baru dalam peta perubahannya. Jakarta boleh sibuk dengan politik nasional, tapi daerah-daerahlah yang jadi benteng terakhir keutuhan bangsa. Aceh, dengan sejarah getirnya, bisa menawarkan pelajaran damai, pelajaran tentang pentingnya harga diri daerah, dan pelajaran tentang pentingnya merawat keadilan sosial.

Kita butuh generasi baru di Aceh.

  • Bukan generasi trauma yang hanya sibuk mengenang masa lalu.
  • Bukan generasi pragmatis yang hanya berburu kekuasaan.
  • Tapi generasi pemberani yang berani berkata: "Kami anak-anak damai. Kami ingin perubahan."

Generasi yang tak malu berkata bahwa dari Aceh harus lahir gagasan-gagasan kebangsaan, tentang keadilan, tentang kemanusiaan, dan tentang masa depan bersama dalam rumah besar Indonesia.


Penutup: Damai Harus Melahirkan Warna Baru

Hari ini, jika Aceh hanya sibuk di lingkaran konflik elit, lupa merangkul generasi mudanya, dan lalai membangun keadilan sosial, maka damai akan kehilangan makna. Ia hanya menjadi catatan administratif, bukan kesepakatan moral.

Aceh harus menjadi warna baru dalam perubahan Indonesia. Bukan sekadar jadi halaman belakang, tapi panggung depan. Karena damai itu mahal, dan perubahan itu harus diperjuangkan.

Dari damai untuk perubahan. Dari Aceh untuk Indonesia.
Karena bangsa besar adalah bangsa yang belajar dari luka, bangkit dari sejarah, dan berani menulis masa depan.


Azhari 
Penulis lepas, pemerhati sosial-politik Aceh