Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Aceh Tanpa Arah, DPRA Kehilangan Fungsi, Pemuda Hidup Seperti Mimpi

Jumat, 06 Juni 2025 | 01:22 WIB Last Updated 2025-06-05T18:23:05Z

:

 


Aceh hari ini seperti kapal besar tanpa nahkoda. Anggaran melimpah, kekhususan istimewa, sejarah kepahlawanan, tapi pembangunan berjalan tanpa arah. DPRA, sebagai lembaga politik tertinggi di daerah ini, seakan lupa pada perannya sebagai perwakilan suara rakyat. Yang terjadi, lembaga ini justru sibuk dalam pusaran politik kekuasaan, perebutan anggaran, dan permainan proyek.

Aceh seharusnya menjadi daerah yang maju. Punya potensi luar biasa dari sektor pertanian, kelautan, pariwisata, hingga sumber daya alam. Tapi sayang, pembangunan tidak dibangun atas konsep dan rencana besar yang matang. Semua berjalan serampangan, program dibuat sekadar untuk menghabiskan anggaran, tanpa prioritas yang jelas.

Di sisi lain, generasi muda Aceh hidup seperti mimpi dalam negeri sendiri. Negeri yang seharusnya membuka ruang bagi anak mudanya, justru membiarkan mereka hidup dalam ketidakpastian. Tidak ada grand design tentang peran pemuda dalam pembangunan. Tidak ada peta jalan masa depan generasi muda Aceh. Akhirnya, banyak pemuda yang hanya jadi penonton di kampung halamannya sendiri, atau memilih pergi meninggalkan Aceh.

DPRA dan Kehilangan Etos Kepemimpinan

Seharusnya, DPRA bukan hanya tempat bagi politisi untuk duduk nyaman dengan gaji dan fasilitas negara. DPRA adalah benteng terakhir rakyat Aceh untuk memperjuangkan nasibnya. Tapi faktanya, yang terjadi justru sebaliknya. Sidang-sidang DPRA lebih banyak dipenuhi agenda saling rebut proyek, adu kepentingan partai, dan kesepakatan politik elitis.

Isu penting tentang kemiskinan, pengangguran, ketahanan pangan, hingga masa depan anak muda, jarang dibahas serius di ruang dewan. Jika pun dibahas, hanya sebatas formalitas. Tidak ada keberanian untuk membongkar akar masalah. Tidak ada semangat untuk menyusun rencana jangka panjang yang berpihak kepada rakyat kecil.

Anggaran Otsus yang seharusnya menjadi instrumen percepatan pembangunan Aceh, justru lebih sering jadi bancakan politik, proyek titipan, dan program pesanan. Rakyat hanya jadi penonton dari sebuah drama panjang kekuasaan.

Aceh Tanpa Arah, Program Tanpa Prioritas

Jika kita telusuri, tidak ada grand design pembangunan Aceh yang benar-benar serius. Semua program sektoral berjalan sendiri-sendiri tanpa integrasi yang kuat. Akibatnya, proyek mercusuar seringkali berdiri tanpa fungsi nyata. Bangunan fisik dibangun megah, tapi isinya kosong.

Sektor pertanian stagnan. Nelayan terpinggirkan. Wisata Aceh hanya ramai dalam spanduk, tapi sepi di lapangan. Industri kreatif dan digital nyaris tidak tersentuh. Sementara anak muda Aceh dipaksa bersaing tanpa ruang, tanpa program pemberdayaan yang nyata.

Pemuda Aceh: Hidup Seperti Mimpi

Di negeri lain, anak muda jadi penggerak utama perubahan. Tapi di Aceh, pemuda seperti diposisikan hanya sebagai pemanis acara seremoni. Banyak yang masih menggantungkan nasib di proyek-proyek politik atau sekadar jadi tim sukses lima tahunan.

Di sektor formal, angka pengangguran pemuda Aceh masih tinggi. Di sektor kreatif, peluang masih minim. Di jalur politik, ruang anak muda begitu sempit. Aceh seakan kehabisan keberanian untuk mempercayai generasi mudanya.

Padahal, Aceh dulu dikenal karena keberanian anak mudanya. Dari Cut Nyak Dhien, Teuku Umar, hingga Hasan Tiro — semua mengawali perjuangan mereka saat usia muda. Tapi kini, anak muda Aceh justru dikebiri secara perlahan oleh sistem politik yang feodal dan oportunis.

Saatnya Bangkit: Aceh Butuh Konsep, Bukan Janji

Aceh tidak boleh terus begini. DPRA harus kembali ke jalur awalnya sebagai perwakilan suara rakyat. Kembalikan fungsi pengawasan dan legislasi yang benar. Berhenti jadi alat kekuasaan partai atau kelompok tertentu.

Aceh butuh grand design pembangunan jangka panjang, bukan proyek tahunan tanpa arah. Peta jalan yang jelas tentang sektor unggulan, program pemberdayaan rakyat, ketahanan ekonomi, dan peran anak muda.

Anak muda Aceh juga harus bangkit. Tidak bisa lagi sekadar jadi tim sukses. Tidak bisa terus menunggu di pinggir jalan kekuasaan. Pemuda Aceh harus mengambil peran, mengawal, dan bahkan bila perlu merebut ruang-ruang strategis pembangunan Aceh.


Maka Aceh pernah besar karena keberanian, runtuh karena pengkhianatan, dan bisa bangkit kembali jika rakyatnya bersatu. Jangan biarkan DPRA dan elit politik merampas masa depan rakyat Aceh. Jangan biarkan anak muda hidup terus dalam mimpi tanpa arah.

Saatnya Aceh bicara konsep. Saatnya anak muda bicara masa depan. Dan saatnya DPRA kembali jadi rumah rakyat, bukan rumah proyek.


Penulis Azhari