Oleh: Antoni
Dalam setiap kontestasi politik, keberadaan tim sukses (timses) selalu jadi faktor penting di balik kemenangan seorang calon. Mereka adalah orang-orang yang rela mengorbankan waktu, tenaga, bahkan harta demi mengantarkan sang calon ke kursi kekuasaan. Tapi sayangnya, di banyak tempat, termasuk di Aceh, politik timses seringkali diwarnai oleh mentalitas transaksional. Bergerak bukan karena cita-cita, tapi karena berharap imbalan di ujung perjuangan.
Inilah salah satu penyakit laten politik kita: politik balas jasa. Banyak yang masuk jadi tim sukses bukan karena ideologi, bukan karena visi perubahan, tapi karena berharap dapat proyek, jabatan, atau fasilitas saat calon menang. Lebih celakanya lagi, ada oknum-oknum di dalam timses yang memang dari awal hanya jadi ‘penumpang politik’—mereka berjuang bukan untuk rakyat, tapi untuk kantong sendiri. Ketika harapan itu tak dipenuhi, merekalah yang paling dulu berubah jadi musuh politik. Mulai menyerang, menyebar fitnah, bahkan berbalik jadi oposisi demi kepentingan pribadi.
Padahal kalau kita bicara tentang makna politik yang sesungguhnya, politik itu ladang perjuangan, bukan ladang keuntungan. Timses sejati adalah mereka yang memperjuangkan gagasan, bukan mengemis jabatan. Mereka yang bergerak karena panggilan nurani, bukan karena daftar proyek titipan. Oknum-oknum pengejar proyek inilah yang selama ini merusak citra politik daerah.
Ikhlas Itu Kekuatan
Banyak yang lupa bahwa politik juga ladang amal. Ketika seseorang memperjuangkan calon pemimpin yang diyakininya membawa kebaikan untuk rakyat, sejatinya dia sedang menanam kebaikan untuk daerahnya. Dan kebaikan itu tidak harus dibalas dengan jabatan atau proyek. Sebab balasan terbesar itu datang dari rakyat yang bahagia, dan dari Tuhan yang Maha Melihat.
Ikhlas adalah kekuatan yang tak bisa dibeli. Timses yang ikhlas tidak akan kecewa saat tidak diakomodir. Mereka terus maju, berjuang di jalan lain, tetap menjaga idealisme, dan tetap mengawal calon yang sudah mereka menangkan agar amanah. Mereka tak terpengaruh oleh ulah oknum-oknum oportunis yang menjual idealisme demi selembar SK atau satu paket proyek.
Justru dari kelompok inilah, lahir generasi pemimpin rakyat sesungguhnya. Mereka tidak sibuk menagih upah. Mereka sibuk menagih janji-janji kampanye agar ditepati.
Politik Aceh Butuh Timses Cerdas dan Bermartabat
Aceh hari ini butuh perubahan. Tapi perubahan tidak bisa dibangun oleh pemimpin saja. Perubahan lahir dari kolaborasi antara pemimpin yang amanah, rakyat yang kritis, dan timses yang bermartabat. Termasuk keberanian untuk menyingkirkan oknum-oknum politik yang memperalat perjuangan rakyat demi ambisi pribadi.
Timses jangan hanya aktif saat musim kampanye. Setelah menang, timses harus tetap mengawal program kerja, mengkritisi kebijakan yang menyimpang, dan menjadi penghubung aspirasi rakyat kepada pemimpin.
Yang lebih penting, timses harus paham bahwa politik bukan sekadar soal menang atau kalah. Tapi soal bagaimana memanfaatkan momentum politik untuk membawa perubahan nyata bagi masyarakat. Oknum-oknum pengejar proyek harus dilawan, sebab merekalah racun yang membuat politik kita busuk, rakyat kecewa, dan daerah tetap tertinggal.
Maka Sudah saatnya kita ubah cara pandang tentang tim sukses dalam politik lokal. Jangan jadikan posisi timses sebagai tiket masuk proyek atau jabatan. Tapi jadikan peran itu sebagai ladang perjuangan untuk daerah. Berjuanglah ikhlas, bukan demi imbalan. Karena harga diri seorang pejuang itu ada pada ketulusan niat, bukan pada nilai amplop.
Aceh butuh orang-orang seperti itu. Aceh butuh timses yang bukan pengejar proyek, tapi pejuang rakyat. Dan Aceh butuh keberanian untuk melawan oknum-oknum oportunis yang selama ini hanya memperalat demokrasi demi kepentingan diri.