Pernikahan dalam adat Aceh bukan sekadar penyatuan dua insan, tetapi ikatan antara dua keluarga besar yang disatukan oleh adat, syariat, dan nilai-nilai luhur. Sejak dahulu, masyarakat Aceh mengenal tahapan pernikahan yang terstruktur: mulai dari seumeuleung, peusijuek lamaran, ijab kabul, hingga adat peugot jaroe (serah terima pengantin perempuan ke keluarga suami). Semua itu berlangsung dalam suasana religius dan penuh penghormatan adat.
Namun sayangnya, generasi muda Aceh hari ini perlahan mulai meninggalkan tata cara adat itu, tergantikan oleh tren pernikahan instan, pesta modern, dan budaya ‘ikut-ikutan’ luar. Banyak yang memandang adat sebagai beban biaya atau formalitas tanpa makna.
Makna Filosofis Adat Pernikahan Aceh
Dalam adat Aceh, pernikahan adalah amanah sosial dan agama, di mana keluarga besar terlibat menjaga kehormatan dan keharmonisan pasangan. Prosesi peusijuek misalnya, bukan sekadar tabur tepung tawar, tapi simbol doa restu dan harapan keselamatan. Begitu juga peulheuh krueng (siraman sebelum akad), adalah lambang penyucian diri dan kesiapan batin menghadapi kehidupan baru.
Adat juga mengatur soal mahar, nafkah, hak-hak perempuan, bahkan soal rumah tinggal setelah menikah. Di beberapa daerah, adat mewajibkan suami menetap di lingkungan istri (matrilokal), di daerah lain sebaliknya.
Dampak Modernisasi: Antara Fleksibilitas dan Kehilangan Jati Diri
Hari ini, adat pernikahan Aceh mulai bergeser:
- Prosesi adat sering dipangkas demi efisiensi biaya.
- Adat peusijuek diganti acara ‘prewedding photoshoot’.
- Ijab kabul dibuat sekadar formalitas tanpa pemaknaan adat dan agama yang dalam.
- Pesta lebih mengutamakan dekorasi dan hiburan daripada nilai adat.
Akibatnya, makna sakral pernikahan sebagai ibadah dan pengikat sosial mulai luntur. Generasi muda tak lagi paham arti adat peusijuek, tata krama lamaran, atau posisi perempuan dalam adat Aceh.
Solusi: Menghidupkan Kembali Nilai-Nilai Adat yang Positif
Adat bukan berarti harus kaku atau memberatkan. Ia bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman tanpa meninggalkan esensi nilai. Langkah yang bisa dilakukan:
- Mengedukasi generasi muda tentang makna adat pernikahan Aceh.
- Menyederhanakan prosesi adat tanpa menghilangkan makna filosofisnya.
- Melibatkan ulama, mukim, dan tokoh adat dalam prosesi pernikahan.
- Menggelar kursus adat pernikahan Aceh di kampus-kampus dan dayah.
Karena kalau adat ini ditinggalkan, Aceh akan kehilangan identitas sosial yang membedakan masyarakatnya dari daerah lain di Nusantara.
Penutup: Warisan Leluhur Bukan Sekadar Simbol
Adat pernikahan Aceh adalah warisan peradaban yang telah terbukti menjaga keharmonisan masyarakat selama berabad-abad. Jangan sampai generasi kita menjadi penyambung yang memutus mata rantai itu hanya karena alasan gengsi modern. Di tengah kemajuan teknologi dan budaya global, justru adat Aceh bisa menjadi penyaring moralitas dan penjaga nilai kemuliaan keluarga.
Pernikahan bukan sekadar pesta, tapi pengabdian sosial, adat, dan agama.
Wallahu a’lam.