Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Analisis: Peluang dan Tantangan Politik Lokal Aceh Pasca MoU Helsinki dan UUPA

Minggu, 22 Juni 2025 | 11:10 WIB Last Updated 2025-06-22T04:23:07Z

Oleh: Azhari

Sejak ditandatanganinya Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005 dan lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11 Tahun 2006, Aceh memasuki babak baru dalam panggung politik nasional. Momentum itu menjadi titik penting yang mengakhiri konflik bersenjata panjang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia, sekaligus membuka ruang bagi rakyat Aceh untuk mengelola urusan daerah secara khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun, dua dekade setelah itu, wajah politik lokal Aceh menyisakan berbagai catatan penting. Di satu sisi, ada peluang strategis yang masih bisa dioptimalkan, tetapi di sisi lain tantangan yang kian kompleks membayangi perjalanan politik daerah ini.

Peluang Aceh Pasca MoU dan UUPA

1. Kekhususan dan Kewenangan Politik Daerah Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki partai politik lokal, kewenangan mengatur syariat Islam, kelembagaan adat, serta pengelolaan sumber daya alam tertentu. UUPA memberi ruang besar bagi rakyat Aceh menentukan arah kebijakan lokal sesuai kebutuhan daerah dan nilai-nilai masyarakatnya.

2. Kesempatan Membangun Sistem Pemerintahan Berbasis Syariat dan Adat UUPA mengatur pelaksanaan syariat Islam dalam bidang kehidupan publik, ekonomi, pendidikan, dan hukum pidana. Selain itu, keberadaan mukim dan gampong yang diakui secara hukum, membuka ruang bagi sistem pemerintahan adat untuk berperan dalam tata kelola sosial masyarakat.

3. Peluang Ekonomi dari Dana Otsus Aceh juga mendapat Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang nilainya cukup signifikan. Bila dikelola secara visioner, dana ini bisa menjadi motor penggerak pembangunan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

4. Peran Geopolitik Aceh di Kawasan Asia Tenggara Letak strategis Aceh di jalur pelayaran internasional Selat Malaka memberi peluang untuk membangun diplomasi ekonomi dan politik luar negeri berskala regional. MoU Helsinki membuka ruang bagi Aceh untuk menjalin hubungan luar negeri terbatas, sebuah keistimewaan yang tidak dimiliki provinsi lain.


---

Tantangan Politik Lokal Aceh Pasca MoU dan UUPA

1. Fragmentasi Elit dan Partai Lokal Pasca MoU, politik Aceh didominasi oleh eks kombatan dan tokoh GAM. Sayangnya, perjalanan waktu justru memperlihatkan adanya fragmentasi internal, perebutan kepentingan, hingga konflik antar elit lokal yang berujung pada lemahnya konsolidasi politik. Banyak partai lokal terpecah, tidak solid, bahkan sering menjadi alat transaksi politik pragmatis.

2. Politik Transaksional dan Hilangnya Visi Perjuangan Seiring waktu, semangat perjuangan dan idealisme MoU Helsinki mulai bergeser menjadi politik transaksional yang mengedepankan kepentingan sesaat. Kursi legislatif dan jabatan eksekutif kerap diperjualbelikan tanpa memikirkan agenda perjuangan yang lebih besar untuk rakyat Aceh.

3. Lemahnya Kinerja Pemerintahan Daerah Meski memiliki kewenangan luas, faktanya pemerintahan Aceh pasca MoU banyak diwarnai masalah: rendahnya serapan anggaran, lambannya penyusunan qanun strategis, dan kurang maksimalnya pemanfaatan Dana Otsus. Akibatnya, angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial di Aceh masih tinggi.

4. Tantangan Nasionalisasi dan Ancaman Pelemahan Kekhususan Seiring dengan perkembangan politik nasional, ada upaya sentralisasi kewenangan dan revisi regulasi yang berpotensi mengurangi kekhususan Aceh. Jika tidak diantisipasi dengan cerdas, peluang yang diperoleh dari UUPA bisa tergerus sedikit demi sedikit.

5. Minimnya Kaderisasi Politik Muda Ruang politik Aceh pasca MoU masih didominasi wajah lama. Minimnya kaderisasi politik muda yang visioner dan berintegritas membuat regenerasi politik berjalan lamban. Padahal, tantangan politik Aceh ke depan jauh lebih kompleks, memerlukan pemimpin baru yang berani keluar dari pola lama.


---

Rekomendasi: Jalan Menuju Politik Aceh Bermartabat

Agar peluang yang dimiliki tidak hilang sia-sia dan tantangan bisa dihadapi dengan baik, ada beberapa hal strategis yang perlu dilakukan:

1. Konsolidasi Internal Partai Lokal Partai politik lokal harus berbenah. Fragmentasi internal harus diselesaikan dengan semangat kolektif, meninggalkan ego sektoral, dan kembali merumuskan agenda perjuangan yang berpihak pada rakyat Aceh.


2. Arah Baru Kepemimpinan Eksekutif Aceh butuh sosok pemimpin yang visioner, berani mengambil kebijakan besar, dan tidak sekadar mengelola proyek. Pemimpin Aceh harus mampu menjadikan kekhususan sebagai keunggulan, bukan sekadar beban politik.


3. Optimalisasi Dana Otsus Dana Otsus mesti diarahkan untuk program-program prioritas berbasis rakyat. Fokus pada pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan pembangunan infrastruktur produktif. Hentikan proyek-proyek mercusuar yang tidak berdampak langsung.


4. Percepatan Qanun Strategis Pemerintah dan DPR Aceh perlu mempercepat lahirnya qanun-qanun penting yang selama ini tertunda, termasuk qanun perlindungan adat, ekonomi syariah, perlindungan sumber daya alam, dan etika digital Islami.


5. Regenerasi Kader Politik Muda Berikan ruang luas bagi generasi muda Aceh untuk tampil di panggung politik. Kaderisasi politik harus menjadi agenda bersama agar regenerasi berjalan sehat dan tidak didominasi oligarki lama.




---

Penutup

Politik lokal Aceh pasca MoU dan UUPA adalah anugerah sekaligus ujian. Aceh diberi keistimewaan yang tidak dimiliki provinsi lain, tapi tanggung jawabnya pun lebih besar. Jika peluang ini disia-siakan dan hanya dipenuhi politik transaksional, maka sejarah akan mencatat Aceh sebagai daerah yang gagal memanfaatkan peluang emasnya.

Sebaliknya, jika Aceh mampu mengelola peluang dan menghadapi tantangan dengan gagasan besar dan keberanian politik, maka daerah ini bisa tampil sebagai provinsi paling progresif di Indonesia, bahkan jadi rujukan politik daerah istimewa di negeri ini.

Karena sejarah Aceh bukan tentang siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tapi tentang siapa yang benar-benar berjuang untuk rakyatnya.


-