Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Apa Arti Hidup Bila Silsilah Keluarga Kamu Lupakan dan Silaturahmi Hilang

Rabu, 04 Juni 2025 | 18:04 WIB Last Updated 2025-06-04T11:05:04Z



Di tengah derasnya arus modernitas, hidup seringkali hanya dipandang sebagai perlombaan. Semua sibuk mengejar jabatan, materi, popularitas, dan pencapaian diri. Tetapi di balik itu, ada sesuatu yang jauh lebih penting, yang sayangnya justru mulai diabaikan: silsilah keluarga dan nilai silaturahmi.

Lantas, apa arti hidup bila silsilah keluarga mulai dilupakan, dan tali silaturahmi perlahan putus? Apakah manusia hanya sekadar makhluk individu yang hidup demi kepentingan pribadi, tanpa akar sejarah dan tanpa ikatan batin antar darah dagingnya sendiri?

Kita Hidup Bukan Tanpa Asal

Seberapa jauh pun kita melangkah, setinggi apapun jabatan yang diraih, sekaya apapun harta yang dikumpulkan, kita tetap berasal dari satu pohon besar yang disebut keluarga. Dari ayah, ibu, kakek, nenek, hingga leluhur yang tak lagi kita kenal namanya, merekalah yang mewariskan kehidupan ini kepada kita.

Silsilah keluarga bukan sekadar daftar nama di pohon keluarga. Ia adalah jejak sejarah, identitas diri, dan bukti bahwa kita lahir dari perjuangan orang-orang sebelum kita. Jika silsilah itu kita abaikan, maka sejatinya kita telah mengkhianati asal-usul kita sendiri. Seperti daun yang terlepas dari ranting, terbawa angin tanpa arah, dan akhirnya layu tak bermakna.

Silaturahmi: Tali yang Menjaga Nilai Kehidupan

Lebih dari sekadar hubungan darah, silaturahmi adalah jembatan hati yang menjaga manusia tetap manusiawi. Lewat silaturahmi, rasa peduli, kasih sayang, dan empati antar keluarga tetap terjaga. Tanpa itu, yang tersisa hanyalah kumpulan individu yang saling asing, meski terikat oleh gen yang sama.

Berapa banyak hari ini saudara kandung yang tak saling sapa karena persoalan harta warisan? Berapa banyak keponakan yang tak pernah mengenal paman atau bibinya? Berapa banyak cucu yang bahkan tak tahu siapa nama kakek buyutnya? Perlahan, silaturahmi tergerus oleh ego, gengsi, dan kesibukan duniawi.

Padahal Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi."
(HR. Bukhari & Muslim)

Pesan itu bukan sekadar anjuran agama, tapi sebuah petunjuk hidup yang sangat manusiawi. Sebab orang yang menjaga hubungan kekeluargaan, hatinya lebih tenang, hidupnya lebih bermakna, dan rezekinya datang dari berbagai arah tak terduga.

Lupa Asal Usul, Maka Hidup Kehilangan Arah

Manusia tanpa akar ibarat kapal tanpa kompas. Ia bisa saja mengarungi lautan luas, tapi tanpa arah dan tujuan. Banyak orang hari ini yang merasa hidupnya kosong meski bergelimang harta. Merasa sepi meski dikelilingi keramaian. Salah satu sebabnya adalah karena mereka kehilangan koneksi batin dengan keluarganya sendiri.

Ada kebanggaan yang tak ternilai saat kita tahu dari mana kita berasal, siapa leluhur kita, apa sejarah keluarga kita, dan bagaimana perjuangan mereka dulu. Itu bukan sekadar cerita usang, tapi pelajaran hidup yang membentuk jati diri.

Seorang anak yang paham asal-usulnya akan lebih kuat menghadapi tantangan hidup, karena ia sadar dirinya datang dari garis keturunan orang-orang kuat. Sebaliknya, yang lupa silsilahnya, akan mudah goyah, minder, dan kehilangan arah saat dunia mempermainkannya.

Modernitas Bukan Alasan Melupakan Keluarga

Bukan berarti kemajuan zaman harus menghapus tradisi kekeluargaan. Kita bisa tetap modern, maju, dan profesional tanpa harus memutus tali silaturahmi. Justru di era digital ini, seharusnya komunikasi antar keluarga makin mudah. Ada telepon, pesan instan, video call, bahkan grup keluarga di media sosial.

Namun ironisnya, yang terjadi justru sebaliknya. Anak lebih banyak berinteraksi dengan teman online ketimbang paman atau bibinya. Cucu lebih hafal nama artis TikTok daripada nama kakek buyutnya. Keluarga besar hanya berkumpul saat ada kematian atau lebaran, itupun sekadar formalitas tanpa kehangatan batin.

Merajut Kembali Tali yang Mulai Rapuh

Masih belum terlambat untuk memperbaiki semua itu. Mulailah dari hal sederhana:

Bertanya kabar paman, bibi, sepupu, dan saudara jauh.

Mencatat kembali silsilah keluarga, bahkan jika perlu, membuat pohon keluarga.

Mengajak anak-anak kita mengenal siapa kakek neneknya, siapa paman bibinya, siapa sepupunya.

Menyempatkan diri hadir di acara keluarga, tak hanya saat kematian.


Karena saat nanti kita tua, yang paling kita butuhkan bukan harta, tapi perhatian keluarga. Kita pun tak akan hidup abadi. Akan ada masanya anak cucu kita mencari jejak kita dalam silsilah, menyebut nama kita dalam doa, atau mengenang kita lewat cerita-cerita yang diwariskan.

Hidup Tak Hanya Tentang Kita

Hakikatnya, hidup ini bukan hanya tentang diri sendiri. Hidup ini tentang jaringan relasi, nilai, dan warisan batin yang harus diteruskan ke generasi selanjutnya. Dan semua itu bermula dari keluarga. Jangan sampai kita jadi manusia sukses yang kaya harta, tapi miskin hubungan keluarga. Kaya jabatan, tapi tak dikenal saudara. Dikenal dunia, tapi tak dikenang di pohon silsilah keluarga.

Seperti kata pepatah Arab:
"Man la ya’rif aslahu, la ya’rif masirahu."
Siapa yang tak mengenal asal-usulnya, maka ia takkan tahu ke mana arah hidupnya.

Arti Hidup Sejati

Pada akhirnya, arti hidup bukan hanya tentang berapa banyak harta yang kita tinggalkan, tapi seberapa kuat nilai yang kita wariskan. Bukan soal nama kita dikenal dunia, tapi apakah nama kita masih disebut dalam silaturahmi keluarga setelah kita tiada.

Jangan tunggu esok. Jalin kembali silaturahmi, kenali kembali silsilahmu, dan jadikan keluargamu sebagai bagian terpenting dari hidupmu. Karena di saat dunia meninggalkanmu, keluargalah yang akan selalu menjadi tempat pulang.