Ketika Euforia Berubah Jadi Petaka
Dalam setiap momen politik, di balik gegap gempita kemenangan, ada cerita yang jarang terdengar ke permukaan: petaka oknum tim sukses (timses) dan jeratan korban pasca kemenangan. Saat kandidat yang mereka usung berhasil duduk di kursi empuk kekuasaan, tak sedikit dari timses yang terjebak dalam ilusi balas jasa, balas budi, dan jebakan lingkaran setan kepentingan.
Di Aceh, atau di banyak daerah lain di Indonesia, kita mengenal fenomena "timses musiman" — orang-orang yang bergerilya saat musim politik tiba, lalu berharap mendapat limpahan jabatan, proyek, dan posisi strategis ketika orang yang mereka dukung menang. Sayangnya, tidak semua dapat, dan lebih banyak yang kecewa daripada yang menikmati hasil.
Harga Diri yang Dikorbankan
Tak sedikit oknum timses yang rela menggadaikan harga dirinya demi masuk lingkar kekuasaan. Menghujat lawan, memfitnah, menghalalkan segala cara. Tapi setelah kemenangan, mereka justru dijadikan pion-pion kecil yang tak berarti. Yang lebih miris, sebagian malah dibuang tanpa jejak, atau terjerat dalam kasus hukum akibat ulahnya sendiri saat kampanye.
Kita sering lihat, oknum timses yang dulunya teriak paling keras soal idealisme, tiba-tiba jadi penjual proyek, calo jabatan, bahkan makelar kebijakan. Harga diri yang seharusnya dijaga sebagai martabat manusia, habis tak bersisa demi rupiah dan posisi.
Korban Politik Pasca Kemenangan
Yang paling menyedihkan adalah korban-korban politik pasca kemenangan. Masyarakat yang dulu ikut berharap dan berjuang, malah jadi pihak yang paling tertinggal. Janji-janji kampanye hanya tinggal spanduk lusuh. Aspirasi rakyat tak pernah benar-benar masuk ke meja pemimpin, karena yang sibuk di sekelilingnya hanyalah oknum-oknum timses haus balas jasa.
Tak jarang pula, masyarakat kecil jadi tumbal permainan proyek, aturan dimonopoli, dan orang-orang miskin kehilangan hak-hak dasarnya. Semua demi melanggengkan kekuasaan dan membayar utang politik yang menumpuk selama musim kampanye.
Jeratan Balas Budi yang Merusak
Kemenangan yang seharusnya jadi ruang pengabdian malah berubah jadi ladang balas jasa. Oknum timses yang tak puas mulai merongrong kekuasaan, menuntut bagian lebih, atau mengancam membuka aib jika tak diberi. Akibatnya, kepala daerah atau pejabat publik yang terpilih tak lagi bebas bekerja untuk rakyat, karena sibuk menghadapi manuver politik internal.
Jeratan balas budi ini merusak sistem birokrasi. Jabatan bukan lagi soal kemampuan, tapi soal kedekatan dan balas jasa. Proyek-proyek tak lagi soal manfaat bagi rakyat, tapi soal pembagian kue kekuasaan.
Penutup: Politik Tanpa Etika Itu Neraka
Kita harus berani bicara bahwa politik tanpa etika adalah neraka bagi masyarakat. Kemenangan yang lahir dari jual beli harga diri akan berujung petaka, baik bagi oknum timses, pemimpin, maupun rakyat sendiri.
Sudah waktunya politik dibersihkan dari budaya oportunis, meu yet-yet, dan asas manfaat tanpa moral. Jadilah tim sukses yang berjuang untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kantong pribadi. Karena jabatan itu sebentar, proyek itu fana, tapi dosa sosial akibat pengkhianatan kepada rakyat, akan dibicarakan sepanjang masa.
Jika kita biarkan, generasi muda akan mewarisi politik busuk. Maka, hari ini harus ada yang berani pasang badan, menolak jadi bagian dari oknum timses pemakan bangkai kekuasaan.