Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Pelabuhan Bebas dan Masyarakat Bebas: Hak Sejarah Aceh yang Terabaikan

Minggu, 15 Juni 2025 | 20:40 WIB Last Updated 2025-06-15T13:40:40Z



Aceh sejak dulu bukan hanya sekadar tanah di ujung Sumatra, tapi sebuah bangsa maritim yang hidup dari pelabuhan, perdagangan bebas, dan hubungan diplomatik antarbangsa. Sejak zaman Kesultanan Aceh Darussalam, negeri ini dikenal sebagai negeri pelabuhan bebas. Kapal-kapal dari Arab, Turki Utsmani, India, Persia, Inggris, hingga Portugis pernah bersandar di pelabuhan Aceh, menjadikan bumi Serambi Mekkah sebagai pusat perdagangan dan pertukaran budaya paling penting di Asia Tenggara.

Pelabuhan bebas bukan barang baru di Aceh. Itu adalah identitas ekonomi Aceh sejak abad ke-16. Kesultanan Aceh mencetak mata uang emas dan perak sendiri, mengekspor lada, rempah-rempah, hasil bumi, dan bahkan mengatur sendiri jalur perdagangannya. Aceh punya hak menentukan siapa yang masuk, apa yang dibeli, dan ke mana hasilnya dibawa.

Saat Indonesia lahir, semangat pelabuhan bebas di Aceh tetap hidup. Tapi, sistem kekuasaan pusat yang sentralistik secara perlahan mematikan konsep pelabuhan bebas itu. Segala aktivitas pelabuhan harus izin pusat, distribusi barang harus melewati Jakarta, dan rakyat Aceh dipaksa mengikuti regulasi yang kadang tidak sesuai dengan kondisi lokal.

Padahal pelabuhan bebas bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal harga diri bangsa. Negeri maritim yang besar tak akan pernah hidup tanpa pelabuhan bebas. Pelabuhan bukan cuma tempat bongkar muat barang, tapi jalur kebebasan berinteraksi antarbangsa, jalur diplomasi, dan jalur penghidupan rakyat. Di pelabuhanlah dulu orang Aceh berdagang, membangun relasi dagang, dan menjaga kedaulatan ekonominya.

Hari ini, suara pelabuhan bebas mulai kembali terdengar. Rakyat Aceh sadar bahwa ketertinggalan ini akibat terkuncinya jalur ekonomi lokal oleh kebijakan pusat. Banyak hasil bumi Aceh, ikan laut, dan komoditas unggulan yang terpaksa diekspor melalui pelabuhan Medan. Aceh hanya jadi jalur lintasan, bukan pusat distribusi. Ini ironi di tanah bekas bangsa pelaut.

Masyarakat bebas adalah konsekuensi dari pelabuhan bebas. Ketika pelabuhan diatur dengan bijak, tanpa monopoli pusat, maka rakyat Aceh bisa hidup mandiri, berdagang tanpa batas, dan menentukan harga hasil bumi sendiri. Masyarakat bebas bukan berarti tanpa hukum, tapi bebas dari ketergantungan ekonomi politik yang menjerat. Bebas dari belenggu distribusi yang diatur Jakarta, bebas dari penghambatan izin, bebas menentukan masa depan ekonominya.

Sudah saatnya Aceh kembali menghidupkan pelabuhan bebas.
Kuala Langsa, Krueng Geukueh, Calang, Meulaboh, dan pelabuhan tradisional lainnya harus dibuka kembali sebagai pelabuhan internasional yang langsung terhubung ke dunia. Bangsa Aceh harus diberi ruang untuk bertransaksi tanpa jadi korban sistem pusat yang terlalu dominan.

Pelabuhan bebas dan masyarakat bebas adalah kunci kebangkitan Aceh.
Karena selama pelabuhan kita terkunci, selama izin ekspor-impor ditahan pusat, selama hasil bumi kita dibawa lewat pelabuhan lain, maka rakyat Aceh tetap jadi penonton di tanah sendiri. Kekayaan ada, tapi kendali di tangan orang luar. Negeri maritim tanpa pelabuhan bebas itu sama saja negeri tanpa jantung.

Aceh harus berdaulat atas pelabuhannya. Aceh harus bebas menentukan hidupnya. Dan Aceh harus punya jalur dagang terbuka ke dunia, bukan sekadar jadi pasar bagi produk dari luar.

Jika pusat terus menahan, maka wajar jika rakyat Aceh kembali menuntut jalan merdeka.
Karena bangsa yang tidak diberi hak kelola pelabuhannya, sama saja bangsa yang dipaksa jadi budak ekonomi.