Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Belajar Ikhlas dari Kisah Kurban: Saatnya Kita Menguji Hati di Era Materialisme

Sabtu, 07 Juni 2025 | 22:35 WIB Last Updated 2025-06-07T15:35:42Z




Setiap Hari Raya Idul Adha, umat Islam di seluruh dunia memperingati sebuah peristiwa agung yang kisahnya tak pernah usang dimakan zaman: kisah Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS. Sebuah kisah tentang ketaatan, keikhlasan, dan pengorbanan yang melampaui nalar manusia. Kisah ini bukan sekadar dongeng religi untuk anak-anak madrasah, tetapi pelajaran hidup yang relevan sepanjang masa — termasuk untuk kita, di era modern yang penuh ambisi dan egoisme.

Antara Mimpi dan Perintah Ilahi

Ibadah kurban bermula dari mimpi Nabi Ibrahim, yang mendapat perintah dari Allah SWT untuk menyembelih anak kesayangannya, Ismail. Bagi seorang ayah yang telah lama menanti keturunan, perintah ini tentu begitu berat. Namun, ketundukan Nabi Ibrahim kepada perintah Ilahi tidak mengenal tawar-menawar. Ia sampaikan mimpi itu kepada Ismail dengan jujur, dan Ismail — meskipun masih belia — menerima perintah itu dengan ketulusan luar biasa.

"Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
(QS. Ash-Shaffat: 102)

Di sinilah letak nilai agung yang patut direnungkan. Betapa hati yang dipenuhi iman mampu menundukkan logika manusiawi yang berat.

Kurban: Bukan Soal Daging, Tapi Keikhlasan

Saat Nabi Ibrahim hendak menyembelih Ismail, Allah SWT menggantinya dengan seekor domba jantan sebagai tebusan. Peristiwa itu menjadi tonggak disyariatkannya kurban bagi umat Islam setiap Idul Adha. Namun, hakikat kurban bukanlah pada darah atau daging yang mengalir, tetapi sejauh mana kita mampu menyerahkan apa yang paling kita cintai demi kecintaan kepada Allah.

Sebagaimana firman-Nya:
"Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu."
(QS. Al-Hajj: 37)

Sayangnya, di era ini, ibadah kurban seringkali bergeser menjadi ajang pamer status sosial. Foto-foto hewan kurban berseliweran di media sosial, disertai tagar seperti #kurbanhebat, #sapi350kg, atau #dermawankampung. Esensi keikhlasan berubah menjadi konten pencitraan. Yang semestinya menjadi dialog pribadi antara hamba dan Tuhannya, malah jadi tontonan publik demi eksistensi dunia maya.

Saatnya Menguji Hati di Era Materialisme

Kurban hari ini seharusnya lebih dari sekadar tradisi tahunan. Ia adalah momentum spiritual untuk menguji hati:

  • Apakah kita masih terlalu mencintai harta hingga enggan berbagi?
  • Apakah kita sanggup melepaskan sesuatu yang kita sayangi demi orang lain?
  • Apakah ibadah kita dilakukan karena Allah atau karena ingin dilihat manusia?

Karena sejatinya, setiap kita punya ‘Ismail’ dalam hidup masing-masing — sesuatu yang sangat kita cintai, yang sewaktu-waktu Allah minta untuk kita lepaskan demi keikhlasan. Bisa jadi itu harta, jabatan, gengsi, atau bahkan ego.

Penutup: Menjadikan Kurban Sebagai Jalan Pembebasan Diri

Idul Adha bukan sekadar perayaan penyembelihan hewan kurban. Lebih dalam, ia adalah penyembelihan sifat egois, kikir, dan materialisme dalam diri kita. Ibadah ini mengajarkan bahwa hidup bukan tentang memiliki, melainkan tentang merelakan, bahwa kebahagiaan bukan terletak pada seberapa banyak yang kita simpan, tapi seberapa besar yang kita relakan untuk orang lain.

Mari kita jadikan kisah Nabi Ibrahim dan Ismail ini sebagai pengingat bahwa iman yang tulus akan selalu menemukan jalannya menuju ridha Allah, bahkan dalam ujian terberat sekalipun.

Semoga kurban kita tahun ini bukan hanya daging yang sampai ke tangan fakir miskin, tetapi keikhlasan yang sampai ke langit.

Wallahu a’lam.