Bangsa yang besar bukan hanya diukur dari luas wilayahnya, kekayaan alamnya, atau jumlah penduduknya, melainkan dari keberanian moral rakyatnya dalam membela yang benar dan menolak yang salah. Di negeri ini, keberanian semacam itu makin langka. Kebenaran seringkali tak memiliki tempat yang nyaman, sementara kebohongan berpesta di ruang-ruang kekuasaan. Ironisnya, orang yang berani berkata benar justru disalahkan, dicurigai, bahkan dijauhi. Padahal, keberanian untuk tetap berada di pihak benar meskipun disalahkan adalah fondasi kokoh bagi peradaban yang beradab.
Kebenaran Yang Tidak Populer
Sejarah membuktikan bahwa kebenaran itu tidak selalu populer. Orang yang menyampaikan kebenaran seringkali dianggap musuh, pengganggu, bahkan pengkhianat. Tengok saja kisah para nabi, tokoh reformasi, dan pejuang kemerdekaan. Hampir semuanya mengalami penolakan keras saat menyuarakan kebenaran. Masyarakat lebih suka mendengar apa yang menyenangkan hati mereka, ketimbang apa yang menyentak kesadaran mereka.
Di lingkungan kita hari ini, fenomena itu masih terjadi. Kritik dianggap cacat niat. Orang yang jujur dibilang cari perhatian. Yang peduli urusan orang banyak malah dicap sok suci. Padahal, bangsa ini dulu berdiri karena keberanian para pendahulu yang tak gentar membela nilai dan prinsip. Tanpa mental berani benar walau disalahkan, kita hanya akan menjadi masyarakat pengecut yang terus membiarkan kesalahan merajalela.
Budaya Diam yang Membunuh
Dalam banyak komunitas, budaya diam tumbuh subur. Orang tahu ada ketidakadilan, tapi memilih bungkam. Orang sadar ada penyimpangan, tapi pura-pura tidak peduli. Kebiasaan diam inilah yang perlahan membunuh integritas bangsa. Karena saat kebenaran dibiarkan kalah oleh ketakutan, yang tersisa hanyalah kemunafikan berjamaah.
Budaya diam muncul dari rasa takut disalahkan, takut dikucilkan, takut kehilangan jabatan, takut kehilangan zona nyaman. Padahal, keberanian menyuarakan kebenaran tak selalu tentang teriak di jalan, tapi bisa dimulai dari hal kecil: berani mengatakan salah kepada teman, berani mengingatkan keluarga, berani menegur pemimpin yang lalai. Dan itu semua hanya bisa terjadi bila kita punya mental siap disalahkan saat membela yang benar.
Kebenaran Tak Butuh Izin
Yang harus dipahami adalah, kebenaran tak butuh izin dari siapapun untuk tetap menjadi kebenaran. Sekalipun satu orang melawan seribu kebohongan, dia tetap berada di jalan benar. Dalam dunia yang semakin memuja pencitraan dan kepentingan, menjadi orang yang berani benar adalah keberanian moral yang mahal. Karena itu berarti kita rela kehilangan banyak hal demi mempertahankan integritas diri.
Di kampung, orang yang menolak ikut korupsi dana desa seringkali diasingkan. Di kantor, pegawai yang tak mau terlibat manipulasi anggaran dianggap penghambat. Di politik, wakil rakyat yang menolak politik uang dibilang munafik. Tapi justru di situlah letak ujian keberanian moral itu. Apakah kita hanya berani benar saat banyak yang mendukung, atau tetap teguh saat sendirian.
Berani Benar Itu Memang Berat
Tak ada yang mudah dalam membela kebenaran. Sejarah mencatat orang-orang benar seringkali dikhianati, dipecat, dipenjara, bahkan dibunuh. Tapi justru karena keberanian mereka, perubahan besar terjadi. Andai semua orang memilih diam, bangsa ini mungkin masih dijajah. Andai semua orang takut disalahkan, republik ini tak akan berdiri.
Keberanian itu pula yang harus kita rawat hari ini. Jangan biarkan anak muda tumbuh menjadi generasi penakut yang hanya berani di dunia maya tapi pengecut di dunia nyata. Jangan wariskan budaya asal aman, asal nyaman, asal tidak dicerca. Bangsa besar adalah bangsa yang warganya berani membela benar meski harus disalahkan, bukan bangsa yang sibuk menyelamatkan diri sendiri.
Kebenaran Akan Menang Pada Waktunya
Ada pepatah, “truth crushed to earth shall rise again”, kebenaran yang ditindas sekalipun akan bangkit kembali. Tidak ada kebohongan yang abadi. Dan keberanian orang-orang benar selalu akan dikenang oleh sejarah, bahkan jika mereka sempat disalahkan di zamannya.
Orang boleh mencemooh, boleh memfitnah, boleh menyingkirkan, tapi selama kita berdiri di sisi yang benar, waktu akan membuktikan posisi kita. Karena ukuran benar bukan banyaknya pendukung, tapi ketegasan prinsip. Jangan pernah takut disalahkan manusia, selama kita tahu bahwa di hadapan Tuhan kita benar.
Mental Pejuang, Bukan Mental Penjilat
Sayangnya, yang banyak tumbuh hari ini justru mental penjilat. Orang berlomba-lomba cari aman. Lebih senang membenarkan yang salah ketimbang menanggung risiko membela yang benar. Lebih suka ikut arus ketimbang melawan arus kebusukan. Lebih nyaman memuji atasan ketimbang mengingatkan. Akibatnya, kerusakan sistem terus berlangsung tanpa perlawanan berarti.
Bangsa ini butuh lebih banyak pejuang moral ketimbang pemuja kekuasaan. Butuh pemuda yang lebih takut kepada Tuhan daripada kepada jabatan. Butuh pemimpin yang lebih takut kehilangan harga diri ketimbang kehilangan kedudukan. Butuh rakyat yang berani bersuara tanpa takut dibungkam.
Berani Karena Benar, Bukan Benar Karena Berani
Satu hal penting yang perlu digarisbawahi, keberanian itu harus berpijak pada kebenaran. Jangan sekadar berani tanpa dasar. Kita harus berani karena benar, bukan merasa benar karena berani. Artinya, keberanian itu lahir dari keyakinan moral dan nilai yang diyakini, bukan sekadar keberanian kosong untuk cari sensasi.
Dalam perjuangan sosial, kebenaran itu harus diuji. Jangan asal berani kritik tanpa dasar. Jangan asal berani menentang tanpa argumen. Keberanian moral harus disertai keilmuan, etika, dan ketulusan niat. Itulah keberanian yang membangun bangsa, bukan keberanian yang justru merusak.
Bangkitkan Budaya Keberanian Moral
Sudah saatnya kita bangkitkan kembali budaya keberanian moral di tengah masyarakat. Budaya di mana orang tak takut bersuara saat melihat ketidakadilan. Budaya di mana pejabat tak takut kehilangan jabatan saat membela rakyat. Budaya di mana ulama tak takut menyindir penguasa yang zalim. Budaya di mana mahasiswa tak sekadar diam saat kampusnya disusupi kepentingan politik.
Keberanian moral ini harus diwariskan dari orang tua ke anak, dari guru ke murid, dari tokoh ke pengikut. Karena tanpa keberanian moral, bangsa ini hanya akan menjadi kumpulan manusia pengecut yang membiarkan ketidakadilan merajalela.
Penutup: Tak Perlu Takut Disalahkan
Hari ini, mungkin orang yang berani benar akan disalahkan. Akan dicaci. Akan dijauhi. Tapi percayalah, keberanian itu tidak pernah sia-sia. Dalam sejarah bangsa, nama-nama yang dikenang justru mereka yang dulu disalahkan saat membela yang benar.
Karena itu, jangan takut disalahkan selama yang kita bela adalah kebenaran. Jangan gentar dijauhi selama langkah kita di jalan yang lurus. Dan jangan risau dicaci, selama nurani kita yakin kepada keadilan.
Bangsa ini butuh lebih banyak orang yang berani benar walau disalahkan. Bukan orang yang benar saat banyak pendukung, dan pengecut saat sendirian. Jadilah pembela kebenaran. Karena kelak, hanya orang-orang seperti itulah yang dicatat sejarah, bukan mereka yang sibuk menyelamatkan diri.
Azhari