Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Berjalanlah Bersama, Walau Beda Pandangan

Sabtu, 21 Juni 2025 | 22:32 WIB Last Updated 2025-06-21T15:34:42Z




Berjalanlah Bersama, Walau Beda Pandangan

Oleh: Azhari 

Di negeri ini, terlalu sering kita menyaksikan perbedaan pendapat menjadi pangkal perpecahan. Perbedaan pandangan bukan lagi dianggap sebagai dinamika wajar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebaliknya, ia diposisikan sebagai ancaman yang harus disingkirkan. Akibatnya, ruang-ruang diskusi menyempit, kebebasan berpikir kian terbatasi, dan masyarakat pun terkotak-kotak dalam sekat-sekat yang seharusnya bisa diurai melalui dialog.

Padahal, sejarah bangsa ini tumbuh dari keberagaman. Dari meja-meja perundingan, para pendiri bangsa berbeda pandangan soal bentuk negara, sistem pemerintahan, hingga dasar negara. Debat tajam pernah mewarnai sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Namun, mereka tidak lantas bubar jalan ketika pandangan tak sejalan. Mereka paham, bahwa ada hal yang jauh lebih besar dari ego pribadi maupun kelompok, yakni cita-cita bersama tentang negeri merdeka, adil, dan bermartabat.

Berbeda pandangan itu lumrah. Bahkan dalam agama pun diajarkan tentang perbedaan. Dalam Islam misalnya, perbedaan pendapat di kalangan ulama bukanlah sesuatu yang diharamkan. Sebaliknya, ia menjadi rahmat sepanjang dijaga dengan adab dan disikapi dengan bijaksana. Alangkah indahnya jika tradisi itu hidup di ruang-ruang sosial kita hari ini.

Namun kenyataannya, masyarakat kita justru mudah terpecah hanya karena soal perbedaan pandangan, baik soal politik, sosial, maupun budaya. Muncul kelompok-kelompok yang merasa paling benar, paling suci, dan paling layak menentukan arah bangsa. Kritik dipandang sebagai permusuhan. Pandangan berbeda dianggap sebagai pengkhianatan. Media sosial kita pun dipenuhi ujaran kebencian, fitnah, dan saling serang demi mempertahankan kebenaran versi masing-masing.

Aceh dan Pelajaran dari Sejarah

Aceh sebagai daerah dengan sejarah panjang perjuangan seharusnya mampu menjadi contoh tentang bagaimana mengelola perbedaan. Dulu, para ulama, teuku, dan uleebalang seringkali berbeda pandangan tentang cara menghadapi kolonialisme. Ada yang memilih jalan perang, ada yang menempuh diplomasi, ada pula yang mengambil jalur kompromi. Namun pada akhirnya, semua itu untuk tujuan yang sama: kemerdekaan Aceh dan kehormatan rakyatnya.

Sayangnya, pasca damai Helsinki, politik lokal di Aceh cenderung membelah masyarakat ke dalam kubu-kubu yang kerap berselisih. Cita-cita bersama mulai terpinggirkan oleh ambisi pribadi dan kelompok. Padahal, yang dibutuhkan Aceh saat ini bukan perseteruan, tapi kolaborasi. Bukan saling menyalahkan, tapi saling menopang. Bukan hanya membanggakan masa lalu, tapi membangun masa depan bersama.

Berjalan Bersama Itu Bukan Menyeragamkan Pandangan

Berjalan bersama bukan berarti harus sepakat dalam segala hal. Bukan berarti semua suara harus serupa, atau semua pendapat harus seirama. Justru keberagaman itulah yang membuat perjalanan menjadi kaya dan penuh warna. Dalam setiap perbedaan, tersimpan potensi gagasan baru. Dalam setiap perbedaan, ada ruang belajar dan peluang bertumbuh.

Dalam politik misalnya, perbedaan pandangan tentang strategi pembangunan adalah hal yang wajar. Tapi jangan sampai perbedaan itu membuat kita saling memusuhi, menjatuhkan, apalagi memutus silaturahmi. Demokrasi justru lahir dari perbedaan pandangan. Tapi ia akan cacat bila hanya diisi oleh orang-orang yang sepemikiran, dan penuh kebencian pada yang berbeda.

Kita bisa belajar dari banyak negara maju, di mana perbedaan pandangan di parlemen sangat keras, namun tetap satu dalam menjaga kepentingan rakyat. Perbedaan pandangan tidak membuat mereka saling memfitnah, apalagi saling menghabisi. Sebab, yang diutamakan adalah kepentingan rakyat, bukan syahwat politik.

Mengapa Harus Berjalan Bersama?

Karena sebuah negeri, apalagi bangsa besar seperti Indonesia — tidak akan bisa dibangun oleh satu orang, satu golongan, atau satu paham saja. Ia membutuhkan sinergi dari berbagai latar belakang. Aceh pun demikian. Masa depan Aceh tak cukup ditentukan oleh satu partai politik, satu kelompok masyarakat, atau satu tokoh kharismatik saja. Semua pihak punya peran dan andil.

Berjalan bersama juga mengajarkan kita tentang pentingnya toleransi. Bahwa kita boleh tidak sepakat soal metode, tapi jangan sampai tercerai berai soal tujuan. Bahwa kita boleh berbeda warna, tapi jangan sampai lupa bahwa bendera yang kita junjung tetap sama: merah putih. Di Aceh, kita boleh berbeda jalur politik, berbeda organisasi, berbeda pandangan dakwah, tapi jangan sampai tercerai soal menjaga martabat negeri ini dan membangun kesejahteraan rakyat.

Perbedaan Pandangan, Jalan Menuju Kedewasaan

Justru lewat perbedaan, kita diuji kedewasaan berpikir dan berjiwa besar. Kita diuji kemampuan untuk mendengarkan, menerima kritik, dan menghargai gagasan yang mungkin bertolak belakang dengan keinginan pribadi. Tanpa perbedaan, tak ada inovasi. Tanpa debat sehat, tak ada pembaruan. Bangsa yang anti-perbedaan adalah bangsa yang stagnan, mandek di satu titik, dan lama-lama kehilangan arah.

Begitu pula dalam organisasi sosial, kemasyarakatan, maupun keagamaan. Jangan jadikan perbedaan pandangan sebagai alasan untuk memutus hubungan. Kita harus belajar untuk tetap berjabat tangan meski tak sepaham. Sebab dalam setiap perselisihan, sesungguhnya lebih banyak kesalahpahaman daripada kesengajaan.

Menutup Luka, Merajut Asa Baru

Aceh sudah terlalu lama terluka oleh konflik, perpecahan, dan kepentingan yang saling menegasikan. Saatnya kini kita berjalan bersama, walau beda pandangan. Saatnya ruang-ruang dialog dihidupkan kembali. Saatnya debat sehat menjadi budaya. Saatnya kita kembali menjadikan kepentingan rakyat sebagai prioritas, bukan hanya urusan kursi kekuasaan.

Seperti pelaut dalam satu kapal, meski berbeda cara membaca arah angin, tapi tetap menuju pelabuhan yang sama. Kita boleh berbeda peta, tapi tetap satu tujuan. Kita boleh berbeda warna bendera, tapi tetap di bawah langit yang sama. Sebab sejatinya, tidak ada satu pun manusia yang mampu berjalan sendiri. Sebesar apapun kekuatan pribadi atau kelompok, tetap akan membutuhkan tangan orang lain.

Mari kita mulai dari hal sederhana. Dari lingkungan terkecil: di keluarga, di komunitas, di tempat kerja, di organisasi, bahkan di media sosial. Jangan buru-buru marah saat ada yang berbeda pendapat. Jangan mudah menghakimi saat ada yang tak sejalan. Belajarlah mendengarkan. Belajarlah memaafkan. Dan belajarlah mengalah demi kebaikan yang lebih besar.

Karena bangsa ini, Aceh ini, hanya bisa besar kalau kita mampu berjalan bersama — walau beda pandangan.

Akhirnya, sejarah hanya akan mencatat dua hal: siapa yang memecah belah, dan siapa yang menyatukan. Mari pastikan nama kita tercatat di barisan yang kedua.