Oleh: Azhari
Hidup di dunia ini adalah karunia besar yang sering kita abaikan. Kita berpijak di bumi yang luas, menikmati udara yang tak berbayar, meminum air yang mengalir, dan menatap matahari yang bersinar tanpa pernah meminta imbalan. Bumi ini menyediakan tempat berpijak untuk siapa saja, tanpa membeda-bedakan.
Sayangnya, manusia justru seringkali lupa diri. Merasa paling kuat, paling hebat, dan paling berhak atas segala hal, hingga tega menginjak harga diri manusia lain. Padahal sejatinya, semua manusia itu setara di hadapan Sang Pencipta. Tak ada yang lebih mulia kecuali karena ketakwaan dan amal baiknya.
Prinsip sederhana “bumi dipijak, manusia jangan diinjak” seharusnya menjadi falsafah hidup yang dijunjung dalam pergaulan, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sayangnya, semakin ke sini, falsafah itu mulai ditinggalkan. Kekuasaan, harta, popularitas, dan status sosial menjadikan sebagian manusia lupa diri, memandang rendah orang lain, dan merasa berhak memperlakukan sesama sekehendaknya.
Bumi: Tempat Berpijak yang Adil
Bumi adalah ciptaan Tuhan yang paling setia kepada makhluk-Nya. Ia tak pernah pilih kasih. Entah kamu kaya atau miskin, bangsawan atau rakyat jelata, penguasa atau buruh, bumi tetap menopang langkah kaki setiap insan tanpa pernah membedakan.
Setiap langkah yang kita jejakkan di bumi, setiap napas yang kita hirup, adalah bukti kemurahan Sang Pencipta. Namun ironisnya, manusia yang diberi akal dan hati justru seringkali tidak setia pada kemanusiaannya sendiri.
Manusia saling injak, saling caci, saling fitnah, saling menjatuhkan, seakan dunia ini milik pribadinya seorang. Tak jarang, sesama manusia yang seharusnya saling menolong justru saling menindas. Dan itu semua terjadi di atas bumi yang memijakkan langkahnya tanpa pilih kasih.
Ketimpangan Sosial: Wajah Buruk Peradaban
Salah satu wajah nyata pengkhianatan manusia terhadap prinsip “manusia jangan diinjak” adalah ketimpangan sosial yang semakin merajalela. Di satu sisi, ada segelintir orang yang hidup dalam kemewahan berlebihan, di sisi lain, masih banyak yang hidup dalam kemiskinan yang memilukan.
Ketika satu orang bisa membelanjakan miliaran untuk sebuah pesta, sementara di sudut lain masih ada orang tua renta yang mengais sisa makanan, di situ jelas terjadi ketidakadilan. Bukan soal iri atau dengki, tapi tentang kemanusiaan yang tak lagi punya ruang di hati sebagian manusia.
Lebih ironis lagi, ketimpangan ini kerap dipertontonkan tanpa rasa malu. Pesta pora pejabat di tengah kemiskinan rakyat, pamer kekayaan influencer di tengah jerit rakyat kecil, dan parade kemewahan yang jadi tren media sosial adalah gambaran nyata bahwa sebagian manusia tega “menginjak” yang lain dengan keangkuhan kekayaan dan status sosial.
Seharusnya, orang-orang yang memiliki kelebihan menjadi penyangga bagi yang lemah, bukan justru menjadi penginjak harga diri dan perasaan mereka.
Kekuasaan yang Buta Kemanusiaan
Selain ketimpangan ekonomi, penyalahgunaan kekuasaan adalah wujud lain dari tindakan menginjak-injak manusia. Tak sedikit pejabat yang setelah duduk di kursi kekuasaan, lupa akan amanah rakyat yang dulu mengantarkannya.
Mereka lebih sibuk membangun dinasti, memperkaya diri dan keluarga, memonopoli jabatan, dan merampas hak rakyat. Kritik dibungkam, lawan politik dibungkus kasus, masyarakat diperalat untuk kepentingan elektoral. Semua demi kepentingan pribadi dan kelompok, seakan rakyat hanya alat pijakan menuju kursi kuasa.
Sejatinya, kekuasaan adalah amanah, bukan privilese untuk menindas. Seorang pemimpin yang benar akan berpijak di bumi bersama rakyatnya, bukan berdiri di atas kepala mereka. Seorang pemimpin sejati tahu bahwa setiap keputusan menyangkut nasib manusia lain, bukan sekadar angka statistik di atas kertas.
Sayangnya, di banyak tempat, kursi kekuasaan justru menjadi alat untuk menginjak. Hukum diputarbalikkan, kebijakan dimanipulasi, dan kepentingan rakyat dikorbankan. Padahal, sejarah selalu mencatat bahwa penguasa zalim pasti runtuh. Kekuasaan abadi hanyalah milik Tuhan.
Fitnah, Adu Domba, dan Persekusi Sosial
Di tengah kemajuan teknologi informasi, fitnah dan adu domba seolah menjadi budaya baru. Orang dengan mudah menebar kebencian, membuat cerita bohong, dan memprovokasi antar sesama demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Media sosial menjadi medan paling subur untuk menginjak harga diri manusia lain. Sekali unggah konten negatif, satu komunitas bisa hancur. Nama baik orang bisa rusak, harga diri bisa remuk, bahkan ada yang kehilangan nyawa karena diburu fitnah.
Fenomena persekusi sosial di media digital ini adalah bukti lain bahwa manusia mulai lupa diri. Mudah sekali menyebarkan keburukan tanpa berpikir dampaknya. Padahal dalam setiap agama, menzalimi orang lain, apalagi menginjak harga dirinya, adalah dosa berat.
Kita boleh berpijak di bumi, tapi tidak boleh menggunakan mulut, tangan, atau jari kita untuk menginjak-injak manusia lain. Karena setiap kata, setiap unggahan, setiap fitnah yang disebar, kelak akan dipertanggungjawabkan.
Refleksi: Manusia Itu Setara
Dalam Islam, ada prinsip “Inna akramakum 'indallahi atqakum” (sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa). Bukan yang paling kaya, bukan yang paling berkuasa, bukan yang paling tenar.
Semua manusia sejatinya sama. Berasal dari tanah, hidup di atas tanah, dan akan kembali menjadi tanah. Tak peduli seberapa tinggi jabatan atau seberapa mahal pakaian yang dipakai, semua akan kembali telanjang di hadapan Tuhan.
Karena itu, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk merasa lebih berhak menginjak orang lain. Seorang pejabat tak boleh menindas rakyat. Orang kaya tak boleh meremehkan yang miskin. Orang pintar tak boleh mencaci yang bodoh. Senior tak boleh menginjak junior.
Kita semua manusia. Sama-sama berpijak di bumi. Sama-sama butuh makan, minum, udara, dan kasih sayang. Maka yang seharusnya ditanamkan adalah solidaritas, bukan permusuhan. Kebersamaan, bukan penindasan.
Menghidupkan Nilai Kemanusiaan
Sudah saatnya kita mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan dalam pergaulan sosial. Mulailah dari hal-hal kecil:
- Belajarlah menghargai orang lain. Entah ia miskin, tak terkenal, atau berbeda pandangan.
- Jaga lisan dan jari. Jangan suka mencaci, memfitnah, atau merendahkan.
- Gunakan jabatan dan harta untuk menolong, bukan menindas.
- Tanamkan di hati bahwa semua manusia layak diperlakukan baik.
Karena sejatinya, kehidupan itu indah bila manusia saling menopang, bukan saling menginjak. Dunia ini terlalu sempit untuk diisi dengan kebencian. Terlalu pendek untuk disia-siakan dengan permusuhan.
Akhir Kata
Bumi ini tempat berpijak semua makhluk. Bumi memijak siapa saja tanpa pandang status. Maka manusia pun jangan merasa berhak menginjak harga diri sesamanya. Hiduplah saling menghargai. Sebab sehebat-hebatnya kita di dunia, tak ada artinya saat tubuh terbujur kaku, ditutupi kain kafan, lalu ditanam kembali ke tanah.
Jangan jadikan kekuasaan, harta, status sosial, atau jabatan sebagai alasan untuk berlaku semena-mena. Karena sejarah telah mencatat, yang sombong akan jatuh, yang zalim akan tumbang, dan yang angkuh akan dilupakan.
Mari hidup dengan prinsip:
Bumi dipijak bersama, manusia jangan diinjak sesama. Karena dengan itulah martabat kita sebagai manusia akan tetap terjaga, dan peradaban bisa berdiri dengan mulia.
#BumiDipijakManusiaJanganDiinjak #JagaMartabatSesama #HidupTanpaMenindas