Aceh pernah berdarah. Bukan karena rakyatnya gemar berperang, tapi karena ketidakadilan yang dibiarkan terlalu lama. Puluhan ribu nyawa melayang, harta benda luluh lantak, desa-desa habis dibakar, dan anak-anak tumbuh tanpa ayah. Aceh, yang dulu disebut Serambi Mekkah, berubah jadi halaman belakang republik.
Lalu datanglah perdamaian. Helsinki 2005 menjadi penanda berakhirnya dentuman senjata. Dunia menyambut, media nasional memuji, elite bersalaman di depan kamera. Tapi di balik itu semua, tersisa satu tanya yang belum dijawab hingga hari ini: damai itu untuk apa, konflik itu untuk siapa?
Konflik Aceh: Siapa yang Dapat, Siapa yang Hilang?
Konflik Aceh, kalau jujur kita akui, bukan hanya tentang rakyat melawan negara. Di dalamnya ada elite yang berkepentingan, ada perpanjangan tangan kekuasaan, dan ada para broker yang menjadikan darah rakyat sebagai komoditas politik. Di atas jasad-jasad yang gugur, disusun kesepakatan, dibagi kursi, diatur proyek, dan dipetakan wilayah pengaruh.
Rakyat? Tetap jadi korban. Baik saat konflik, maupun setelah damai. Yang dulunya berjuang di gunung kembali ke ladang dengan trauma. Yang kehilangan orang tua harus tumbuh tanpa kompensasi memadai. Yang harta bendanya musnah hanya diberi janji-janji kosong dalam sidang paripurna.
Sementara itu, segelintir orang hidup mewah dari sisa-sisa konflik.
Damai Aceh: Untuk Siapa Manfaatnya?
Perdamaian yang digadang-gadang sebagai keberhasilan luar biasa itu, nyatanya lebih banyak dinikmati elite politik lokal dan nasional. Dana otsus mengalir triliunan setiap tahun, tapi kemiskinan masih di atas 14%, pengangguran tinggi, dan pendidikan tertinggal.
Proyek multiyears, rotasi jabatan, dan penunjukan kepala dinas, lebih diwarnai lobi-lobi politik ketimbang pertimbangan kemampuan. Yang pernah mengangkat senjata, sebagian hanya dipakai namanya saat kampanye, lalu dikesampingkan setelah pemilu usai.
Damai Aceh hari ini terlalu mahal harganya kalau hanya untuk menghidupi elite, tapi meninggalkan rakyat.
Pertanyaan Yang Harus Kita Jawab Bersama
Damai untuk apa, konflik untuk siapa? Kalau damai hanya untuk menciptakan elite baru yang lebih rakus daripada elite lama, maka sia-sialah darah yang tumpah dulu. Kalau konflik kemarin hanya dijadikan alat dagang politik dan narasi kampanye, maka betapa hinanya kita mempermainkan penderitaan rakyat.
Aceh hari ini perlu bertanya dengan lantang:
- Ke mana hak-hak korban konflik?
- Kenapa pengadilan HAM Aceh tak pernah berdiri?
- Mengapa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi mandek?
- Kenapa dana otsus yang mengalir triliunan tak bisa mengangkat kemiskinan?
- Dan yang paling penting: sampai kapan kita rela damai dijadikan alat dagang kekuasaan?
Penutup
Aceh butuh keadilan, bukan hanya perdamaian. Karena damai tanpa keadilan adalah ilusi. Aceh butuh pemimpin yang berani menagih janji Helsinki, bukan pemimpin yang nyaman dengan kursi hasil kompromi. Aceh butuh rakyat yang tak lupa bahwa perjuangan dulu bukan soal kursi dan proyek, tapi soal harga diri dan masa depan anak cucu.
Jangan biarkan konflik yang memakan nyawa, dan damai yang memakan harapan, terus berulang jadi komoditas politik.
Karena sejarah akan mencatat, siapa yang berjuang untuk Aceh, dan siapa yang memperdagangkannya.