Saya ingin mengajak kita semua sejenak menengok kembali lembaran yang sering kita lipat rapat dalam sejarah Aceh: tentang para korban konflik. Tentang orang-orang yang kehilangan orang tua, anak, suami, istri, rumah, kampung, bahkan masa depan, hanya karena Aceh pernah memutuskan melawan Jakarta. Tentang ribuan tubuh yang membusuk di hutan, di sungai, di kamp pengungsian. Tentang luka yang tak pernah benar-benar sembuh, meski damai sudah diucap di Helsinki hampir dua dekade lalu.
Kini, banyak dari mereka hidup dalam dilema. Di satu sisi damai membawa jeda, di sisi lain merdeka adalah mimpi yang masih disimpan diam-diam dalam dada.
Siapa yang Mengingat Korban?
Di tengah hingar-bingar politik dan pesta proyek pasca-damai, ada yang dilupakan: para korban. Mereka yang dulu rumahnya dibakar, keluarganya dihilangkan paksa, tubuhnya dihujani peluru, kini hidup dalam kesunyian. Banyak dari mereka menjadi saksi bisu bahwa konflik bukan hanya tentang senjata dan diplomasi, tapi tentang nyawa, kehormatan, dan harga diri.
Mereka yang dahulu dengan lantang meneriakkan “Aceh Merdeka!” atau diam-diam memberi tumpangan bagi pejuang GAM, kini hanya bisa menatap nanar ke panggung-panggung perayaan damai yang tak pernah menyisakan kursi untuk mereka.
Damai: Berkah atau Pengkhianatan?
Bagi sebagian korban, damai itu berkah. Setidaknya anak-anak bisa sekolah tanpa takut peluru nyasar. Ladang-ladang bisa digarap tanpa was-was ranjau. Masjid bisa makmur tanpa tentara patroli.
Tapi bagi sebagian lainnya, damai itu luka baru. Karena cita-cita yang diperjuangkan dengan darah, digadaikan begitu saja di meja perundingan. Karena orang-orang yang dulu bersumpah setia kepada bendera Bulan Bintang, kini sibuk berkompetisi kursi kekuasaan. Karena yang mati tetap mati, yang hilang tetap hilang, dan yang menderita tetap menderita, sementara elit yang dulunya pejuang kini berdasi di hotel-hotel mewah.
Di sinilah dilema itu lahir:
Apakah Aceh sudah merdeka dengan damai ini? Atau justru kembali dijajah, hanya saja oleh wajah-wajah baru?
Ketika Cita-cita Merdeka Tinggal Kenangan
Bagi generasi tua korban konflik, kemerdekaan itu bukan sekadar soal bendera, tapi tentang martabat. Tentang bisa bicara tanpa takut, tentang hasil bumi dinikmati rakyat sendiri, tentang anak-anak Aceh tidak perlu jadi buruh kasar di Malaysia.
Kini mereka menyaksikan kemerdekaan itu hanya tinggal kenangan. Bendera Bulan Bintang masih diperkarakan, para kombatan banyak yang jadi pengangguran, dana otsus menguap tanpa arah. Aceh memang damai, tapi apakah adil?
Generasi Muda: Damai Ini Milik Siapa?
Pertanyaan paling penting hari ini: damai ini milik siapa?
Apakah hanya milik segelintir elit yang dulunya pejuang, kini jadi penguasa? Atau milik seluruh rakyat Aceh, termasuk anak-anak korban konflik yang masih tinggal di gubuk, yang masih menunggu beasiswa yang dijanjikan, yang masih menahan trauma di dada?
Generasi muda Aceh hari ini harus berani bertanya. Apakah Aceh hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah Indonesia, atau bangkit menjadi bangsa bermartabat, damai dengan harga diri, bukan damai karena dipaksa.
Penutup: Damai atau Merdeka?
Konflik Aceh boleh saja usai di atas kertas, tapi pergulatan batin rakyatnya tak pernah benar-benar selesai. Bagi para korban, damai tanpa keadilan adalah pengkhianatan. Kemerdekaan yang tak kunjung datang, hanya menjadi hiasan nostalgia.
Kini tugas generasi muda bukan sekadar menikmati damai, tapi memastikan damai itu adil. Bahwa cita-cita kemerdekaan yang dulu diperjuangkan, bisa diwujudkan dalam bentuk baru: Aceh yang berdaulat atas tanahnya, atas adatnya, atas ekonominya, atas marwah rakyatnya.
Karena jika tidak, maka damai ini hanya perpanjangan luka, dan para korban akan terus bertanya dalam sunyi:
"Kami dulu berjuang untuk merdeka, kini kalian memilih damai. Tapi apa yang sebenarnya kami dapat?"
Anak Aceh, pewaris luka dan harapan.