Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Duka Aceh dan Hilangnya Empat Pulau: Ketika Kita Sibuk, Tanah Air Hilang

Rabu, 11 Juni 2025 | 19:26 WIB Last Updated 2025-06-11T12:27:00Z


Oleh: Azhari 

Aceh kembali berduka. Bukan hanya karena kabar wafat atau sakitnya para ulama karismatik yang selama ini jadi penopang nilai moral masyarakat, tetapi juga karena sebuah berita yang nyaris tenggelam di tengah riuh politik lokal dan hiburan digital: hilangnya empat pulau milik Indonesia di sekitar perairan Aceh.

Empat pulau yang selama ini menjadi bagian integral dari teritorial Nusantara, kini raib dari peta. Entah dihapus, entah diklaim, atau entah luput dari pemeliharaan pemerintah pusat dan daerah. Sungguh ironis, ketika negeri ini disibukkan dengan kontestasi jabatan, proyek mercusuar, dan ketegangan elite, Aceh kehilangan bagian tubuhnya sendiri.

Ketika Aceh Sibuk, Pulau Pergi

Bagi Aceh, lautan bukan sekadar wilayah ekonomi atau ruang hidup, tetapi bagian dari identitas budaya dan sejarah. Sejak era Kesultanan Aceh Darussalam, Samudra Pasai hingga masa penjajahan Belanda, perairan Aceh menjadi jalur rempah, jalur diplomasi, sekaligus benteng maritim yang menjaga wibawa tanah rencong.

Namun hari ini, pengabaian terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah menimbulkan dampak buruk. Tanpa pengawasan, tanpa administrasi yang ketat, dan tanpa keberpihakan anggaran, empat pulau itu seolah dibiarkan hanyut, baik oleh abrasi, migrasi penduduk, atau potensi klaim negara tetangga.

Sayangnya, masyarakat Aceh sendiri seakan tidak menyadari bahwa hilangnya pulau bukan sekadar persoalan geografis, tetapi juga soal kedaulatan, marwah, dan masa depan perikanan serta ekonomi maritim kita.

Duka yang Lebih Dalam dari Sekadar Kabar Wafat

Di saat sebagian kita berlarut dalam duka kabar ulama yang sakit, atau sibuk berebut kursi di parlemen daerah, ada tanah yang hilang. Kita menangisi yang pergi, tetapi lupa menjaga yang tersisa. Hilangnya empat pulau adalah simbol dari lemahnya sistem kontrol pemerintah daerah terhadap aset wilayahnya sendiri.

Pemerintah pusat pun seakan abai, menganggap Aceh cukup ditenangkan dengan Dana Otonomi Khusus dan proyek-proyek kecil, tanpa menyentuh persoalan substansial seperti pengamanan wilayah perbatasan laut dan pendataan pulau-pulau kecil.

Aceh Butuh Kepemimpinan Maritim

Sudah saatnya Aceh mengangkat kembali ruh maritimnya. Harus ada kebijakan khusus, qanun strategis, atau minimal peta pengawasan yang melibatkan pemerintah kabupaten/kota pesisir, akademisi, LSM, dan masyarakat nelayan untuk memastikan tidak ada lagi pulau yang “hilang” atau diambil negara tetangga.

Aceh tidak bisa hanya mengandalkan pusat. Sebagai daerah yang pernah berdaulat dan memiliki kekuatan maritim tersendiri, Aceh mesti berani berdiri di depan dalam menjaga kedaulatan wilayahnya.

Kalau tidak, lima tahun lagi bukan hanya empat pulau yang hilang, tapi bisa jadi puluhan, bahkan wilayah laut strategis kita diambil alih, sementara generasi muda Aceh sibuk main TikTok, elite politik sibuk saling jegal, dan pemerintah hanya sibuk peresmian proyek.

Akhir Kata

Duka Aceh hari ini bukan hanya tentang sakitnya ulama atau wafatnya tokoh. Tapi tentang bagaimana kita diam saat wilayah sendiri hilang, saat batas laut tak terjaga, dan saat aset maritim diperlakukan seperti barang tak bernilai.

Jika bangsa ini ingin dihormati di dunia, maka jangan biarkan satu inci pun tanah, pasir, dan laut kita lepas tanpa perlawanan. Empat pulau itu adalah alarm bagi Aceh, agar tidak terlelap dalam pesta politik dan narasi kosong pembangunan.

Kita harus bangkit. Atau sejarah akan mencatat kita sebagai generasi yang kehilangan tanah air karena sibuk bercanda.