Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

GAM, Pergerakanmu Kami Ingat, Jasamu Kami Lupa: Refleksi untuk Generasi

Senin, 09 Juni 2025 | 14:39 WIB Last Updated 2025-06-09T07:43:45Z


Sejarah seringkali bersifat kejam. Ia bisa mencatat dan mengabadikan, namun bisa juga menghapus dan mengubur nama-nama besar di balik peristiwa penting. Aceh adalah contoh nyata tentang bagaimana sebuah bangsa kecil di ujung barat nusantara ini pernah berdarah-darah untuk mempertahankan martabatnya. Dalam deretan kisah itu, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) adalah catatan penting yang sulit dipisahkan.

Namun, yang terasa getir kini adalah, pergerakan mereka diingat, jasanya perlahan dilupakan. Apalagi di kalangan generasi muda Aceh pasca-damai, yang lahir di era kemewahan keamanan tanpa perlu mengalami dentuman senjata, razia aparat, atau ketakutan setiap malam. Artikel ini saya tulis bukan untuk memuja, bukan pula untuk membenarkan kekeliruan, tapi sebagai refleksi bagi kita — generasi baru Aceh — agar tidak mudah lupa pada sejarah yang membentuk wajah kita hari ini.


Awal Sebuah Perlawanan

GAM lahir bukan dari ruang kosong. Ia lahir dari kegelisahan, ketidakadilan, dan luka sejarah yang terlalu dalam. Tahun 1976, Hasan Tiro, seorang intelektual Aceh di pengasingan, mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan politik dan eksploitasi kekayaan alam yang dialami Aceh sejak Indonesia merdeka.

Aceh yang kaya minyak dan gas, malah hidup dalam kemiskinan. Hasil bumi diangkut ke Jakarta, sementara jalanan Aceh penuh lubang, listrik padam bergilir, dan rakyat hidup dalam ketakutan. Keputusan untuk mengangkat senjata adalah jalan terakhir yang dipilih setelah diplomasi dan perlawanan politik gagal.

Selama hampir tiga dekade, konflik bersenjata mewarnai tanah Aceh. Ribuan jiwa melayang, anak-anak tumbuh dalam suasana perang, ekonomi lumpuh, dan pendidikan tertinggal. Konflik ini bahkan termasuk dalam salah satu konflik terpanjang di Asia Tenggara. Generasi hari ini harus paham bahwa damai yang kini dinikmati adalah kemewahan yang dibeli mahal oleh masa lalu.


Perlawanan yang Ditebus Nyawa

Di balik nama besar Hasan Tiro dan para panglima lapangan, ada ribuan nama tak dikenal yang rela tinggal di hutan, makan seadanya, dan bertaruh nyawa demi cita-cita yang mereka yakini. Mereka bukan kriminal, bukan pengacau, melainkan manusia yang merasa diperlakukan tidak adil oleh negaranya sendiri.

Saya pernah mendengar kisah dari seorang eks kombatan di daerah Bener Meriah. Katanya, dulu hidup di hutan tanpa listrik, makan umbi-umbian, dan malam hari tidur di bawah pohon sambil menyembunyikan senjata dari razia aparat. Setiap pagi bukan tentang mencari sarapan, tapi tentang apakah bisa bertahan hidup hari itu. Ribuan cerita seperti itu berserakan di pelosok Aceh. Sebagian tak pernah ditulis dalam buku sejarah sekolah.

Sayangnya, jasa mereka sering kali terlupakan setelah damai ditandatangani. Yang muncul ke permukaan hanya segelintir nama yang duduk di kursi kekuasaan. Sementara mereka yang dulu berdarah di medan tempur, perlahan dilupakan sejarah, bahkan oleh bangsanya sendiri.


Damai yang Mengubah Segalanya

MoU Helsinki 2005 memang menjadi babak baru dalam sejarah Aceh. Perang usai, GAM resmi dibubarkan, senjata dilucuti, dan eks kombatan dijanjikan integrasi sosial serta politik. Aceh diberi otonomi khusus, bendera dan lambang daerah, serta wewenang hukum sendiri.

Namun, di sinilah tragedi kecil itu bermula. Pejuang yang dulu gagah di hutan, banyak yang terjebak dalam politik kekuasaan. Beberapa menduduki jabatan strategis, masuk partai lokal, menjadi kontraktor proyek pemerintah, bahkan terlibat dalam pusaran politik uang. Idealisme perlahan bergeser jadi pragmatisme.

Generasi muda menyaksikan itu. Maka wajar bila muncul narasi sinis: "Dulu berjuang demi rakyat, sekarang berebut proyek." Banyak anak muda Aceh mulai meragukan ketulusan masa lalu. Mereka mempertanyakan apakah perjuangan itu benar-benar untuk rakyat atau hanya batu loncatan menuju kursi kekuasaan. Mungkin itu tuduhan yang kejam, tapi bisa jadi alarm yang harus didengar.


Menghargai Jasa, Mengoreksi Kekeliruan

Di tengah realitas ini, penting bagi kita — generasi baru Aceh — untuk bersikap adil. Kita boleh mengkritik elit-elit eks kombatan yang kini bergelimang jabatan, tapi jangan pernah lupakan jasa mereka yang tulus. Mereka yang pernah menggigil di hutan, tertembak di medan tempur, atau kehilangan keluarga akibat konflik, layak dihormati.

Menghargai jasa bukan berarti membenarkan semua tindakan. Kita harus berani berkata bahwa di balik pergerakan suci itu, ada juga kekeliruan: pelanggaran HAM, ketidakadilan terhadap sipil, dan politik balas dendam. Semua itu harus diakui, karena hanya dengan menerima sejarah secara utuh, Aceh bisa benar-benar dewasa.

Jangan sampai karena kecewa pada elit hari ini, kita menghapus total jasa masa lalu. Sebab, bila hari ini kita bisa kuliah tanpa suara tembakan, bisa melintasi jalan tanpa diperiksa senjata, dan bisa tidur malam tanpa dentuman mortir, itu berkat darah mereka — yang rela mati agar kita hidup lebih layak.


Refleksi Generasi Muda Aceh

Pertanyaan pentingnya: apa yang bisa kita warisi dari sejarah itu?

Aceh tidak butuh perang baru. Tapi ia butuh perlawanan terhadap kemiskinan, kebodohan, korupsi, dan ketidakadilan sosial. Semangat perlawanan itu harus hidup dalam bentuk yang lebih modern: lewat pendidikan, karya tulis, inovasi teknologi, pergerakan sosial, dan keberanian bersuara.

Generasi muda Aceh jangan hanya bangga jadi "anak mantan GAM", tapi kosong kontribusi. Jangan hanya jadi selebgram syar’i di media sosial, tapi tutup mata pada kemiskinan tetangga. Jangan hanya sibuk tren viral Jakarta, tapi lupa Aceh masih punya ribuan anak putus sekolah.

Kita perlu memaknai semangat perlawanan itu bukan lewat senjata, tapi lewat gagasan. Kita butuh generasi yang berani berkata:

"Kami ingat pergerakanmu, kami kritik kesalahanmu, tapi kami tidak akan lupakan jasamu. Kini tugas itu kami lanjutkan dengan cara kami."

Karena kalau semangat itu padam, Aceh tinggal nama. Tinggal jejak luka dan nostalgia perang tanpa arah.


Akhir Kata: Damai Adalah Ladang Perjuangan Baru

Sejarah adalah guru yang kejam. Ia hanya berpihak pada yang mencatat. Maka jangan biarkan generasi baru Aceh melupakan sejarah perlawanan yang membentuk wajah daerah ini. Jangan biarkan mereka hanya tahu Hasan Tiro sebagai nama jalan atau nama gedung, tapi tak paham siapa dia dan apa yang diperjuangkan.

Damai adalah fase baru dari perjuangan. Dulu musuh kita adalah ketidakadilan dari luar. Kini musuh kita adalah kemalasan, korupsi, kebodohan, dan elitisme di antara kita sendiri. Kalau dulu mereka berani mati demi harga diri Aceh, kini kita harus berani hidup dengan bermartabat di tanah sendiri.

Karena bangsa yang melupakan sejarahnya, akan dikutuk mengulang kesalahan yang sama.

GAM, pergerakanmu kami ingat. Jasamu tak akan kami lupakan. Tapi generasi ini, tak akan membiarkan Aceh kembali terluka.


Semoga bermanfaat Mari berjuang untuk Aceh merdeka adil makmur bagi masyarakat