Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Harga Diri, Meu Yet-Yet Antar Oknum Timses, dan Asas Manfaat

Rabu, 04 Juni 2025 | 17:59 WIB Last Updated 2025-06-04T11:00:32Z



Dalam panggung politik kita, baik di tingkat nasional maupun daerah, istilah “timses” atau tim sukses selalu menjadi bagian tak terpisahkan. Mereka adalah orang-orang yang berjibaku memenangkan kandidat tertentu demi kekuasaan, pengaruh, atau sekadar posisi. Tapi persoalannya, seiring waktu, seringkali harga diri di antara oknum timses itu runtuh karena permainan asas manfaat dan budaya “meu yet-yet” — sebuah istilah Aceh yang menggambarkan manuver politik penuh tipu daya, basa-basi kepentingan, dan kesepakatan semu.

Meu yet-yet terjadi saat sesama tim sukses saling memanfaatkan, pura-pura setia, saling bersalaman di depan publik tapi menusuk di belakang panggung. Budaya ini menjadikan politik kian kotor, penuh kemunafikan, dan merusak nilai harga diri para pelakunya.

Ketika Harga Diri Dijual Murah

Jabatan dan proyek seringkali menjadi godaan utama dalam pusaran timses. Demi itu, harga diri yang seharusnya dijunjung, digadaikan dengan murah. Tak sedikit yang tega membelot ke kubu lawan, menjual informasi, hingga menjadi benalu di dalam tubuh tim sendiri.

Parahnya, ada pula yang saling menjatuhkan hanya karena rebutan proyek atau jabatan setelah kandidat yang diusung menang. Loyalitas berubah jadi transaksional. Yang dulu bersumpah setia di depan masyarakat, berubah jadi pengkhianat di balik layar.

Harga diri yang semestinya jadi martabat manusia, dipreteli hanya demi fulus dan kedudukan. Ini bukan sekadar soal politik pragmatis, tapi sebuah kegagalan moral di ruang publik.

Asas Manfaat Mengikis Prinsip

Asas manfaat memang sah dalam politik; artinya setiap orang berhak mencari keuntungan selama tidak merugikan orang lain dan tetap dalam koridor etika. Tapi yang terjadi di banyak kasus adalah asas manfaat tanpa etika dan moralitas. Semuanya demi kepentingan perut dan gengsi.

Ada yang mendekat karena butuh proyek. Ada yang membela karena dijanjikan jabatan. Ada yang membangun citra hanya untuk dapat undangan ke kursi-kursi strategis. Ketika kepentingan itu tidak terpenuhi, maka yang tersisa hanyalah permainan saling menjatuhkan, membuka aib, dan mencari tuan baru.

Politik semacam ini menjadikan harga diri manusia tak ubahnya komoditas pasar. Diperdagangkan, ditawar, dan ditinggalkan saat tidak lagi laku.

Dampak Buruk ke Masyarakat

Lebih fatal lagi, budaya meu yet-yet antar oknum timses ini menciptakan ketidakpercayaan publik. Rakyat jadi skeptis terhadap proses politik, menganggap semua hanya dagang sapi, penuh tipu muslihat, dan tak benar-benar peduli pada nasib masyarakat.

Maka tak heran, ketika pemimpin yang lahir dari tim sukses seperti ini cenderung sibuk balas jasa politik daripada membenahi daerah. Rakyat kembali jadi korban, pembangunan jalan di tempat, dan korupsi makin sulit diberantas.

Harus Ada Moral Politik yang Ditegakkan

Sudah saatnya, timses dan politisi berhenti menjadikan harga diri sebagai barang dagangan. Politik boleh saja jadi ruang kompetisi, tapi tetap harus punya etika dan moral.

Bersainglah secara sehat, berjuanglah dengan harga diri yang utuh. Jangan mau hanya jadi alat sementara, jangan mau hanya dijadikan kepentingan sesaat, apalagi kalau harus rela menginjak harga diri sendiri untuk sesuatu yang fana.

Penutup: Politik Jangan Jadikan Kita Sampah Moral

Sebagai bangsa yang besar, kita harus mengingatkan bahwa politik itu bukan sekadar soal menang atau kalah. Tapi soal bagaimana kita tetap menjaga martabat, harga diri, dan kejujuran di tengah arena penuh godaan.

Jika hari ini harga diri dijual murah, esok lusa generasi muda akan mewarisi politik busuk. Jika hari ini meu yet-yet dan asas manfaat tanpa nilai terus dibiarkan, maka kita tak ubahnya sedang menciptakan masyarakat korup di masa depan.

Jadilah tim sukses yang punya integritas, bukan tim sukses yang sukses menggadaikan harga dirinya. Karena jabatan itu titipan, proyek itu sementara, tapi harga diri akan ditagih sampai ke liang lahat.