Manusia hidup berdampingan dengan alam. Tanpa disadari, setiap hela napas, tegukan air, hingga makanan yang kita konsumsi adalah anugerah dari proses panjang kehidupan alam. Sayangnya, dalam hiruk-pikuk peradaban modern, manusia sering merasa sebagai pusat semesta, lupa bahwa ia hanyalah bagian kecil dari tatanan alam raya.
Padahal, kalau kita mau sejenak berhenti dan memperhatikan, segala hal yang terjadi di alam mengandung hikmah. Alam bukan hanya menyediakan, tapi juga mengajarkan. Bagaimana pohon tumbuh dari biji kecil, bagaimana air mencari jalan di sela bebatuan, bagaimana burung membangun sarangnya, dan bagaimana semut bekerja dalam komunitasnya — semuanya adalah pelajaran tentang kehidupan.
Belajar dari Alam yang Sabar
Proses alam tidak pernah tergesa-gesa. Sebatang pohon kelapa butuh waktu bertahun-tahun hingga bisa berbuah. Biji kopi harus melalui musim demi musim sebelum menjadi secangkir minuman yang kita nikmati. Air hujan yang jatuh ke tanah tidak langsung membentuk sungai, tapi mengalir perlahan, mencari jalan, menyatu dengan aliran lain hingga akhirnya bermuara di lautan.
Demikianlah hidup seharusnya. Tidak ada kesuksesan yang instan, tak ada keberhasilan yang datang tanpa proses. Tapi ironisnya, manusia modern cenderung ingin segala sesuatu serba cepat: makanan cepat saji, kaya secara kilat, bahkan kadang ingin bahagia tanpa proses derita.
Padahal, alam mengajarkan bahwa yang abadi adalah yang melalui tahapan. Bahwa kegagalan dan musim kering adalah bagian dari proses menuju panen raya. Hanya orang yang sanggup bertahan dalam proses itulah yang pada akhirnya akan menikmati manisnya hasil.
Keseimbangan yang Harus Dijaga
Alam hidup dalam keseimbangan. Ada siang, ada malam. Ada musim hujan, ada musim kemarau. Ada kehidupan, ada kematian. Begitu pula hidup manusia. Tidak mungkin kita terus berada dalam kondisi senang, atau selalu berada dalam situasi sulit. Hidup akan terus berputar, dan yang paling bijak adalah mereka yang mampu menyesuaikan diri, tanpa kehilangan arah.
Banyak orang stres hanya karena merasa hidupnya tidak seperti orang lain. Padahal, sebagaimana pohon-pohon di hutan, tak ada pohon yang iri karena pohon lain lebih tinggi. Masing-masing tumbuh sesuai takdir dan porsinya. Alam tidak saling mendahului, tidak saling merendahkan, tapi berjalan dalam harmoni.
Begitulah mestinya manusia. Tidak semua harus jadi orang kaya, tidak semua harus jadi pejabat, tidak semua harus jadi pengusaha. Dunia ini butuh petani, guru, tukang becak, pedagang kaki lima, bahkan pemulung sekalipun. Semua punya peran masing-masing dalam lingkaran kehidupan.
Proses Alam, Proses Kehidupan
Ketika hujan turun, kita merasa lega. Tapi di balik itu, ada proses penguapan dari lautan, pengendapan di awan, dan jatuh kembali ke bumi. Saat menikmati buah mangga, kita lupa bahwa mangga itu tumbuh bertahun-tahun, melewati musim hujan dan panas, diserang ulat dan angin kencang, sebelum akhirnya matang.
Begitu pula dalam hidup. Setiap pencapaian yang kita dapatkan, sejatinya adalah hasil dari proses panjang. Ada peluh, air mata, kegagalan, kehilangan, ketakutan, dan kebimbangan yang pernah dilalui. Tapi sayangnya, manusia sering hanya memuja hasil tanpa menghargai proses.
Seharusnya, kita belajar dari cara alam menjalani proses. Tidak semua musim harus berbunga, tidak semua hari harus cerah. Saat pohon meranggas di musim kemarau, ia tidak memaksakan diri tetap berdaun. Ia bersabar, menunggu musim hujan kembali datang.
Demikian pula manusia. Saat berada di titik terendah, jangan putus asa. Setiap orang punya waktunya masing-masing. Tidak perlu iri melihat orang lain berhasil lebih dulu. Karena sejatinya, hidup ini bukan tentang siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling kuat bertahan dalam proses.
Alam Mengajarkan Kepasrahan dan Keikhlasan
Lihatlah sungai. Ia tidak pernah memaksakan arah. Ketika dihadang batu, ia berbelok. Ketika dirintangi akar, ia menyusup di bawahnya. Hingga akhirnya tetap bermuara ke laut. Begitulah hidup seharusnya. Ketika harapan terhalang, cari jalan lain. Ketika impian ditolak, jangan memaksakan diri. Ada jalur lain, ada waktu lain, ada cara lain yang lebih indah jika kita sabar menunggu.
Burung di hutan tidak pernah menyimpan makanan untuk esok. Ia hidup hari ini, bekerja keras hari ini, dan tetap yakin esok akan ada rezekinya. Alam mengajarkan kita untuk ikhlas menjalani hidup. Tidak berlebihan saat senang, tidak mengeluh saat susah.
Manusia modern terlalu sibuk menumpuk kekhawatiran akan masa depan hingga lupa menikmati hari ini. Padahal, tidak ada yang lebih pasti selain hari ini. Esok adalah rahasia. Seharusnya, kita belajar dari cara alam berserah, tanpa kehilangan semangat untuk terus berusaha.
Penutup: Menghargai Proses, Menjalani Hidup
Jika saja manusia lebih banyak belajar dari alam, mungkin kehidupan ini akan lebih tenang. Alam tidak pernah sombong meski memberi begitu banyak. Matahari tak pernah meminta pujian meski tiap hari menerangi. Laut tak pernah protes meski menampung jutaan sampah manusia.
Kini, saatnya kita berhenti sejenak, menunduk di hadapan semesta, belajar dari ketelatenan pohon, kesabaran sungai, dan keteguhan gunung. Bahwa hidup bukan soal cepat atau lambat, bukan soal kaya atau miskin, tapi tentang bagaimana kita menjalani prosesnya dengan sabar, tulus, dan bermanfaat bagi sesama.
Karena sejatinya, kita semua hidup dari proses kehidupan alam. Dan siapa yang mampu bersahabat dengan alam, dialah yang akan bertahan.
Azhari
Pemerhati sosial dan pegiat literasi lingkungan.