Bangsa ini lahir dari semangat kebersamaan, gotong royong, dan saling peduli. Kita punya falsafah hidup “ringan sama dijinjing, berat sama dipikul”, bahkan pepatah Aceh dulu menyebutkan “meuripe lam gampông, teuka lon teuka droe” — hidup di kampung, suka sama suka, duka sama duka. Tapi belakangan, perilaku itu mulai pudar. Kita mulai terbiasa dengan sikap ku 'eh, alias cuek, abai, dan masa bodoh terhadap urusan sesama.
Lihat saja di jalanan, orang tabrakan, banyak yang lebih sibuk ambil video ketimbang menolong. Di media sosial, ada yang curhat tentang kesulitan hidup, bukan malah diberi semangat atau solusi, tapi dihujat atau dianggap lebay. Di lingkungan rumah, tetangga sakit parah, orang baru tahu setelah ambulans datang menjemput jenazah. Inilah wajah masyarakat kita hari ini — bangsa yang makin senang memelihara jarak dan rasa tak peduli.
Dari Gotong Royong ke Gotong Reputasi
Jika dulu kita bangga saling bantu membangun rumah tetangga, membersihkan desa, atau saling mengantar ke sawah, hari ini gotong royong itu berubah jadi gotong reputasi. Orang mau bantu kalau ada kameranya, kalau bisa viral, kalau bisa menaikkan citra. Kepedulian menjadi transaksi sosial. Orang datang melayat, bukan karena peduli, tapi karena takut dianggap tak beretika. Orang hadir di pengajian, bukan karena iman, tapi karena gengsi sosial.
Sikap ku 'eh antar sesama ini bukan hanya soal pribadi, tapi sudah menjangkiti sistem sosial dan institusi. Ketika ada orang miskin kelaparan, pejabat sibuk berpose bagi-bagi sembako, tanpa memikirkan sistem jangka panjang. Ketika ada kasus kemanusiaan, aparat negara lebih sibuk klarifikasi di media ketimbang turun langsung menyelesaikan.
Bangsa yang Kehilangan Rasa Malu
Perilaku abai ini lahir karena kita mulai kehilangan rasa malu. Malu jika tidak peduli, malu jika tak berempati. Padahal, di negeri-negeri maju, budaya empati itu justru menjadi kekuatan bangsa. Mereka sadar, tanpa kepedulian antarwarga, negara hanya akan dipenuhi individu-individu egois yang akhirnya saling memangsa.
Di Indonesia, sikap individualistis tumbuh subur atas nama kebebasan pribadi. Orang lebih suka menyendiri, asal tak terganggu, asal tak terusik. Padahal, manusia adalah makhluk sosial yang kodratnya butuh orang lain. Tapi hari ini, hubungan sosial menjadi sekadar basa-basi di WhatsApp grup. Hanya aktif saat ada urusan pribadi, setelah itu kembali ke dunia masing-masing.
Perlu Gerakan Kesadaran Sosial
Jika dibiarkan, sikap ku 'eh ini akan melahirkan generasi yang dingin hati. Tak peduli tetangga kelaparan, tak peduli teman sakit, tak peduli bangsa di ujung kehancuran. Kita butuh gerakan kesadaran sosial. Mulai dari diri sendiri, lingkungan keluarga, sampai institusi pendidikan dan pemerintahan.
Anak-anak harus dibiasakan membantu teman tanpa pamrih. Remaja diajarkan pentingnya solidaritas. Mahasiswa didorong untuk aktif di kegiatan sosial, bukan sekadar organisasi politik kampus. Pejabat publik harus menjadi teladan dalam merawat kepedulian sosial. Karena tanpa itu, bangsa ini hanya akan jadi kumpulan manusia yang sibuk mengejar hidupnya sendiri, sementara orang lain dibiarkan karam.
Menjadikan “Peduli” Sebagai Budaya Bangsa
Bangsa Indonesia dulu dikenal karena keramahannya. Turis asing selalu memuji betapa orang Indonesia suka menyapa, suka menolong, dan cepat akrab. Tapi itu cerita lama. Kini, banyak yang lebih nyaman dengan layar ponsel ketimbang menyapa tetangga.
Kita harus kembalikan budaya peduli itu sebagai identitas bangsa. Karena bangsa yang kuat bukan bangsa yang sibuk saling acuh, tapi bangsa yang saling menopang. Di negeri yang rawan bencana, di negara yang masih banyak kantong kemiskinan, kepedulian bukan lagi sekadar kebaikan, tapi kebutuhan.
Penutup
Perilaku ku 'eh antar sesama adalah tanda penyakit sosial yang diam-diam menggerogoti bangsa ini. Kita terlalu sibuk dengan urusan pribadi hingga lupa bahwa hidup di dunia ini bukan soal diri sendiri. Kita butuh orang lain. Bangsa ini butuh kita saling peduli.
Saatnya kita sadari, bahwa satu tindakan peduli jauh lebih berarti daripada seribu status simpati di media sosial. Jangan tunggu bencana atau tragedi baru kita ingat pentingnya kebersamaan. Mari hidupkan kembali gotong royong, bukan sekadar slogan, tapi sebagai sikap nyata sehari-hari.
Karena sejatinya, bangsa besar adalah bangsa yang besar kepeduliannya antar sesama.