“Di balik setiap langkah anak yang kokoh, ada doa ibu yang tak pernah reda. Di balik setiap keberhasilan, ada air mata yang disembunyikan.”
Bicara tentang ibu adalah bicara tentang cinta yang tak pernah selesai. Tak peduli zaman apapun, ibu tetaplah ibu — sosok yang selalu hadir dalam doa dan pelukan hangatnya, meski tak semua anak mampu memeluknya hari ini.
Namun, waktu telah mengubah banyak hal. Dulu, seorang ibu dikenal sabar, tabah, dan menjadi guru pertama di rumah. Kini, di tengah kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup, peran ibu dalam pandangan anak pun perlahan bergeser. Bukan karena cinta itu memudar, tapi karena dunia memaksa hubungan itu berubah.
Ibu Dulu, Pengasuh Sekaligus Guru
Di masa lalu, ibu adalah perempuan kuat yang mampu menanggung beban hidup tanpa banyak mengeluh. Dari pagi hingga malam, tangan ibu tak pernah berhenti bekerja. Mulai dari mengurus dapur, mencuci, membersihkan rumah, hingga merawat anak-anak. Semua dilakukannya sendiri, tanpa asisten rumah tangga, tanpa fasilitas canggih.
Ibu dulu menjadi guru pertama bagi anak-anaknya. Dialah yang mengenalkan huruf hijaiyah, mengajarkan adab makan, sopan santun kepada tetangga, bahkan membacakan kisah-kisah para nabi sebelum anaknya tidur. Wajah ibu saat itu mungkin lelah, tapi senyumnya tulus.
Di mata anak-anak dulu, ibu adalah pusat semesta. Segala sesuatu harus izin ibu. Setiap petuah ibu adalah hukum yang tak boleh dilanggar. Rasa takut, hormat, dan sayang bercampur menjadi satu.
Ibu Kini, Antara Panggilan Rumah dan Dunia Luar
Perubahan zaman menghadirkan tantangan baru. Banyak ibu hari ini bukan hanya pengasuh di rumah, tapi juga pencari nafkah di luar. Banyak yang menjadi pegawai, guru, pebisnis, bahkan aktivis sosial. Mereka ingin tetap berdaya di tengah masyarakat tanpa meninggalkan perannya di rumah.
Namun, kemajuan teknologi juga menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, memudahkan komunikasi antara ibu dan anak. Di sisi lain, menciptakan jarak yang tak kasat mata. Banyak anak hari ini lebih akrab dengan layar gawai daripada berbincang dengan ibunya. Banyak rumah kehilangan suara tawa ibu yang dulu hangat mengiringi malam.
Di mata sebagian anak masa kini, ibu adalah sosok yang sibuk dengan pekerjaannya, sibuk dengan ponselnya, sibuk dengan aktivitas sosialnya. Hubungan menjadi kaku, sapaan menjadi sekadarnya, pelukan jarang, cerita sebelum tidur nyaris tak ada.
Mengapa Kita Melupakan Ibu?
Ironisnya, di tengah segala kemudahan hidup, anak-anak masa kini justru banyak yang merasa kesepian. Tidak sedikit yang merasa jauh dari ibunya, meski berada dalam rumah yang sama. Rasa hormat perlahan terkikis, ucapan terima kasih menjadi langka, sementara keluhan kepada ibu justru semakin sering terdengar.
Sebagian anak lupa, bahwa di balik pakaian modern dan senyuman ibunya hari ini, ada tubuh renta yang menahan sakit. Ada hati yang rapuh saat melihat anaknya lupa waktu pulang, lupa tanya kabar, apalagi memijat kaki.
Perlahan-lahan, peran ibu di mata anak mengalami pergeseran. Dari pusat semesta, menjadi sekadar pengingat tugas, atau bahkan hanya tempat minta uang jajan.
Saatnya Kembali Pulang
Kita perlu menyadari, bahwa sehebat apapun zaman, tak akan pernah ada ganti dari seorang ibu. Tak ada teknologi yang bisa menggantikan pelukan hangatnya. Tak ada kecanggihan digital yang bisa menyamai ketulusan doanya di sepertiga malam.
Anak-anak masa kini perlu belajar kembali memuliakan ibunya. Menyapa, mendengar, membantu, dan memeluknya tanpa menunggu momen tertentu. Karena waktu terus berjalan. Usia ibu tak bisa diulang. Dan saat ibu tiada, tidak ada apapun di dunia ini yang lebih menyakitkan daripada menyesal karena pernah abai.
Akhirnya…
Ibu dulu dan kini mungkin berbeda cara, berbeda suasana. Tapi satu yang tetap sama: cintanya tak pernah berkurang. Seorang ibu akan tetap berjuang untuk anaknya, meski kadang anak-anaknya lupa berjuang untuknya.
Hari ini, bila masih punya ibu, peluklah. Bila sudah tiada, kirimkan doa. Sebab keberkahan hidup kita, sekeras apapun usaha kita, tetap bergantung pada restu dan doa seorang ibu.
“Surga itu di bawah telapak kaki ibu. Tapi sayangnya, banyak anak hari ini sibuk mencari surga di luar rumah, lalu lupa bertanya kabar ibunya.”
Azhari
Penulis & Pemerhati Sosial