Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Jalan Pengalaman Politik — Dari Janji Manis ke Pengkhianatan terhadap Masyarakat

Jumat, 06 Juni 2025 | 01:35 WIB Last Updated 2025-06-05T18:35:50Z


Jalan Pengalaman Politik — Dari Janji Manis ke Pengkhianatan terhadap Masyarakat

Oleh: [Azhari 

Politik seharusnya menjadi alat untuk memperjuangkan nasib rakyat. Setiap suara yang diberikan saat pemilu, setiap dukungan yang disuarakan di jalanan kampanye, adalah bentuk kepercayaan masyarakat kepada seorang calon pemimpin. Sayangnya, pengalaman panjang kita dalam perpolitikan — baik di tingkat nasional maupun di daerah seperti Aceh — telah berkali-kali menunjukkan betapa politik juga sering jadi panggung pengkhianatan terhadap masyarakat.

Saya tumbuh dan belajar di lingkungan politik Aceh. Dari pilkada ke pilkada, dari pemilu ke pemilu, satu pola tak pernah berubah: janji saat butuh, lupa saat duduk. Masyarakat diiming-imingi program kesejahteraan, lapangan kerja, pendidikan gratis, perbaikan fasilitas desa, hingga jaminan kesehatan. Tapi begitu kursi kekuasaan berhasil diraih, janji-janji itu sekadar hiasan pidato saat kampanye dulu.

Rakyat dikhianati bukan sekali dua kali. Berulang kali. Janji-janji dibeli dengan suara, lalu suara dibeli dengan harga murah. Ketika rakyat butuh keadilan, pemimpin terlalu sibuk membagi proyek antar kroni. Saat rakyat menagih komitmen, mereka malah membangun tembok tinggi antara kekuasaan dan rakyat kecil.

Lebih parah lagi, ada oknum-oknum dalam politik yang sejak awal hanya memanfaatkan rakyat sebagai anak tangga. Mereka merangkul rakyat saat butuh suara, mendekat saat butuh dukungan, lalu menendang saat jabatan sudah di tangan. Seolah suara rakyat itu hanya sekadar angka dalam kotak suara, bukan amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan dan sejarah.

Saya menyaksikan sendiri, bagaimana masyarakat desa rela berpanas-panasan demi mendengar pidato politik. Bagaimana emak-emak meminjam kerudung bagus demi hadir di acara kampanye. Bagaimana pemuda desa berkeliling mengetuk pintu demi calon yang mereka anggap bisa membawa perubahan. Tapi setelah itu, janji hanya jadi catatan dalam baliho usang.

Aceh tak akan pernah maju jika politik tetap dijalankan oleh mereka yang menjadikan kekuasaan sebagai alat dagang. Kita butuh politisi yang mengerti bahwa jabatan itu bukan milik pribadi, tapi titipan rakyat. Kita butuh pemimpin yang paham bahwa pengkhianatan terhadap rakyat adalah dosa politik yang tak bisa ditebus hanya dengan seribu alasan.

Jalan pengalaman politik saya mengajarkan satu hal: percayalah pada nilai, bukan pada wajah. Jangan pernah kagum pada kata-kata manis saat kampanye, tapi lihat rekam jejak dan keberanian pemimpin itu dalam memperjuangkan kepentingan rakyat di saat kekuasaan di tangan.

Hari ini Aceh butuh lebih banyak rakyat yang cerdas memilih, berani menagih janji, dan tak takut menyebut pengkhianat sebagai pengkhianat. Karena politik yang sehat lahir dari masyarakat yang berani bersuara, bukan dari masyarakat yang terlalu mudah lupa.

Aceh bisa berubah. Tapi perubahan itu dimulai dari rakyat yang berani menjaga harga dirinya, tidak mudah ditipu, dan siap melawan pengkhianatan di panggung kekuasaan.