Oleh: Azhari
Setiap kali pesta demokrasi digelar di negeri ini, yang selalu menjadi korban paling awal adalah rakyat miskin. Mereka yang seharusnya menjadi penerima manfaat terbesar dari hadirnya pemimpin yang adil, justru hanya dipandang sebagai angka statistik dan ladang transaksi politik.
Praktik jual beli suara telah lama menjadi rahasia umum dalam pemilu kita. Mulai dari Rp50 ribu, Rp100 ribu, hingga paket sembako dan janji palsu — suara rakyat dipermainkan. Ironisnya, bukan hanya dilakukan oleh oknum calon, tapi juga diterima dengan pasrah oleh masyarakat yang sudah terlalu lama hidup dalam ketidakadilan.
Saya tak ingin menyalahkan sepenuhnya masyarakat miskin yang akhirnya tergoda oleh uang haram politik itu. Siapa yang bisa tahan ketika dapur kosong, anak butuh makan, sementara yang datang membawa uang dan sembako? Tapi di situlah letak dosa kolektif kita sebagai bangsa. Kita membiarkan kemiskinan dijadikan alat untuk membeli harga diri dan masa depan rakyat kecil.
Akibat dari jual beli suara ini sangat serius. Pemimpin yang terpilih bukanlah mereka yang memiliki niat baik dan kemampuan, melainkan mereka yang paling banyak uang. Hasilnya, begitu mereka duduk di kursi kekuasaan, prioritas pertama bukan rakyat, melainkan bagaimana caranya mengembalikan modal kampanye. Proyek-proyek pemerintah dipolitisasi, anggaran dipangkas untuk kebutuhan kelompok, dan keadilan sosial bagi rakyat miskin hanya jadi tema pidato tanpa realisasi.
Pesta demokrasi yang seharusnya menjadi perayaan rakyat, berubah jadi pasar gelap kepentingan. Keputusan-keputusan penting tentang pembangunan desa, subsidi pendidikan, jaminan kesehatan, dan hak atas tanah — semua ditentukan oleh siapa yang bayar lebih mahal di belakang layar.
Jika hal ini terus dibiarkan, maka rakyat miskin akan tetap miskin, bukan karena mereka bodoh, tapi karena sistem yang memang sengaja dibuat untuk menjadikan mereka alat politik musiman. Mereka hanya dibutuhkan lima tahun sekali, setelah itu dilupakan.
Keadilan sosial tidak mungkin lahir dari demokrasi yang busuk. Aceh, dan Indonesia secara umum, harus berani melakukan revolusi moral dalam politik. Bukan hanya calon yang harus jujur, tapi masyarakat juga harus punya keberanian untuk menolak uang sogokan suara. Karena saat kita menjual suara, yang dijual bukan sekadar selembar kertas, tapi juga masa depan anak-anak kita, keadilan, dan kehormatan kampung halaman.
Saya ingin mengajak siapa pun yang masih percaya bahwa politik bisa jadi alat kebaikan: berhenti menjadi bagian dari permainan kotor ini. Jangan biarkan suara kita ditukar dengan uang receh yang habis dalam sehari, sementara dampaknya akan kita tanggung lima tahun bahkan seumur hidup.
Demokrasi tanpa keadilan adalah penghinaan terhadap rakyat kecil. Dan keadilan tidak akan pernah hadir selama suara masih diperjualbelikan.