Sejarah Aceh bukan semata tentang kegemilangan perlawanan terhadap kolonialisme, tetapi juga tentang bagaimana kolonialisme secara sistematis menyusup ke dalam tatanan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu kisah yang jarang diungkapkan secara utuh adalah peran tanaman ganja di tanah Aceh — dari sekadar tanaman pelindung kopi hingga menjadi alat sosial yang melemahkan daya juang rakyat.
Di dataran tinggi Gayo, pada masa kolonial Belanda, ganja pertama kali diperkenalkan bukan sebagai barang haram atau bahan konsumsi, melainkan sebagai tanaman pelindung untuk perkebunan kopi. Ganja didatangkan dari India pada abad ke-19 untuk satu kepentingan pragmatis: menekan biaya perawatan pohon kopi dari serangan hama.
Saat itu, Hindia-Belanda giat membuka lahan-lahan perkebunan guna memenuhi kebutuhan kas kolonial. Salah satunya adalah komoditas kopi yang ditanam di pegunungan Aceh Tengah. Di sela-sela kebun kopi itu, ganja ditabur, tumbuh tanpa perawatan, namun berkhasiat menyingkirkan hama. Efektif, murah, dan tak merepotkan.
Dari Pelindung Tanaman ke Racun Sosial
Awalnya, keberadaan ganja di Aceh tidak pernah menjadi persoalan. Ia hanyalah tanaman perkebunan. Tapi seiring waktu, fungsinya bergeser. Tanaman yang semula sebagai pelindung kopi mulai dikonsumsi oleh sebagian masyarakat, seperti layaknya lisong (cerutu lokal) dan madat (opium) di Jawa pada abad ke-18.
Dampaknya pelan tapi pasti mulai terasa. Kegigihan dan daya juang masyarakat yang sebelumnya dikenal pantang menyerah melawan kolonialisme mulai meredup. Ganja, dalam dosis tertentu, menimbulkan euforia dan rasa malas. Hal ini tentu menguntungkan kolonial. Sebagaimana Inggris memanfaatkan candu di Tiongkok untuk melemahkan rakyat dan istana kekaisaran, Belanda tampaknya tak jauh berbeda dalam mengatur siasat kolonial di Aceh.
Memang, tidak ada catatan langsung yang menyebutkan Belanda sengaja menyebarkan ganja untuk dikonsumsi rakyat Aceh. Tapi indikasi kuat bisa ditarik dari pola kolonialisme global kala itu. Inggris menggunakan candu untuk menghancurkan Tiongkok, yang berujung pada Perang Candu I dan II. Sementara di Jawa, candu menjadi primadona bangsawan dan rakyat jelata, mengubah generasi pejuang menjadi generasi pemalas yang lebih sibuk mengejar kenikmatan sesaat ketimbang melawan penindasan.
Aceh pun tak luput dari skema itu. Ganja yang awalnya sekadar pelengkap perkebunan, perlahan menjadi candu sosial. Daya kritis melemah, militansi perjuangan kendur, dan Belanda semakin leluasa menancapkan kekuasaannya.
Sejarah yang Diabaikan, Warisan yang Menghantui
Hari ini, Aceh dikenal sebagai salah satu wilayah penghasil ganja terbesar di Indonesia. Ironisnya, warisan sejarah kolonial itu justru diwariskan secara turun-temurun, bukan dalam bentuk kesadaran sejarah, tapi sebagai komoditas ilegal yang diperdagangkan secara sembunyi-sembunyi.
Sebagian masyarakat masih menanam ganja, bukan lagi untuk kopi, tapi untuk kebutuhan pasar gelap. Aceh yang dulunya dikenal sebagai negeri para syuhada, negeri yang tak pernah tunduk pada penjajah, justru kini tersandung dalam perang melawan narkotika yang dilematis.
Apakah ini semata soal pelanggaran hukum? Atau justru akumulasi sejarah yang tak pernah diurai, tak pernah diingatkan, dan akhirnya tak mampu dihadapi secara struktural maupun kultural?
Belajar dari Masa Lalu
Kisah ganja di Aceh semestinya menjadi pelajaran berharga. Bahwa musuh kolonialisme bukan hanya senjata, tapi juga budaya dan mentalitas. Kolonialisme modern hari ini pun masih bergerak dalam pola yang sama, memanfaatkan ketergantungan, candu sosial, dan narkotika untuk meredam semangat perlawanan sebuah bangsa.
Aceh, dengan segala sejarah panjangnya, sudah sepatutnya memutus rantai sejarah ini. Jangan sampai negeri para syuhada ini tercatat dalam sejarah modern bukan sebagai pejuang tangguh, tapi sebagai halaman belakang bagi industri narkotika global.
Penutup
Sejarah ganja di Aceh adalah sejarah tentang bagaimana sebuah kebijakan pragmatis kolonial bisa berubah menjadi alat kontrol sosial yang efektif. Dari tanaman pelindung kopi menjadi candu pemalas. Dari sekadar bibit perkebunan menjadi komoditas gelap. Dari sekutu bagi Belanda menjadi warisan bermasalah bagi bangsa sendiri.
Aceh butuh lebih dari sekadar hukum untuk memerangi ganja. Aceh butuh kesadaran sejarah. Karena bangsa yang tak paham akar masalahnya, akan terus terjebak dalam lingkaran masalah yang sama.
Seperti kata orang bijak,
"Jika ingin menghancurkan suatu bangsa, rusak dulu budayanya. Lenyapkan semangat perangnya. Biarkan mereka sibuk dengan candu dan kemewahan semu."
Dan itulah yang pernah terjadi di Aceh — dan bisa saja kembali terjadi, jika kita abai.